“Jika perbedaan ditanggapi dengan intoleransi,
maka akan memicu terjadinya kekerasan”
– Sudaryono, Tenaga Ahli Pengkaji Bidang
Sosial Budaya Lemhannas
Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keberagaman yang dimiliki,
baik keberagaman kondisi alam maupun keberagaman budaya. Data terbaru dari
Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2010 menyatakan jumlah pulau di
Indonesia pada awalnya berjumlah 17.508 pulau, namun kini menjadi 13.466 pulau.[1] Sehingga dengan jumlah
pulau sebanyak itu, dapat dibayangkan bahwa Indonesia memiliki tingkat
keberagaman yang tinggi. Secara demografi, data sensus penduduk terakhir tahun
2005 dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah
penduduk 218.868.7 jiwa.[2]
Dari jumlah penduduk yang lebih dari dua ratus jiwa tersebut, Badan Pusat
Statistik menyampaikan informasi kepada Komisi XI DPR RI, bahwa jumlah suku
bangsa yang dimiliki Indonesia pada tahun 2010 sebesar 1.128.[3] Untuk mengetahui jumlah
suku bangsa tersebut, BPS melakukan kerja ekstra karena harus bersentuhan
dengan hukum adat, masuk ke pedalaman-pedalaman, dan sebagainya, yang
menunjukkan betapa Indonesia kaya dengan suku bangsa. Kemudian berikut adalah
data 14 tahun silam, yakni tahun 2000 mengenai komposisi suku bangsa yang ada
di Indonesia[4] :
Meskipun data tersebut tidak lagi benar-benar
valid karena merupakan data sepuluh tahun silam, tetapi data tersebut dapat memberi
gambaran mengenai suku mayoritas dan minoritas yang ada di Indonesia sampai
saat ini. Diperkirakan suku Jawa, Sunda, Melayu, Madura, dan Batak masih
menempati posisi teratas sebagai suku mayoritas yang ada di Indonesia, ditambah
suku Tionghoa yang juga sudah semakin banyak. Tahun 2000, suku Tionghoa
berjumlah 0.00% diakibatkan kerusuhan Mei 1998 yang memberangus habis suku
Tionghoa. Namun berbeda dengan saat ini, suku Tionghoa telah menyebar luas di
Indonesia dan mulai menguasai perekonomian. Kemudian perlu juga diketahui
komposisi agama yang dimiliki Indonesia berdasar data Badan Pusat Statistik
tahun 2010[5]:
Begitu banyak etnis atau suku bangsa dan
agama yang terdapat di Indonesia dapat menjadi hal baik karena dapat memperkaya
negara dengan keanekaragaman budaya. Dalam data-data yang sudah dipaparkan di
atas, memang terlihat bagaimana Indonesia memiliki segala keanekaragaman
tersebut. Tetapi di sisi lain, perlu juga dipahami bahwa dalam keanekaragaman
tersebut, terdapat “penggolongan” yang dikonstruksi secara sosial mengenai kaum
mayoritas dan minoritas.
Konflik Kekerasan Berbasis Identitas di
Indonesia
Masih berkaitan dengan isu mayoritas-minoritas yang menjadi akar konflik
kekerasan yang terjadi di Indonesia, berikut dibahas terlebih dahulu mengenai
data-data konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Kementerian Dalam Negeri
RI (Kemendargi) mencatat peningkatan paham radikalisme mencapai angkat tertinggi
pada tahun 2012 yang mengalami kenaikan 80% dari tahun sebelumnya. Pada tahun
2012, telah terjadi 128 konflik di Indonesia akibat paham radikalisme. Pada
tahun 2010, tercatat 93 konflik dan 2011 sebanyak 77 konflik.[6] Kemendagri memberi
penjelasan bahwa kasus
radikalisme di Indonesia sangat bervariasi, seperti perkelahian yang dipicu
oleh persoalan sederhana tetapi tidak langsung diselesaikan sehingga berakibat
pada tindakan kekerasan yang mencakup banyak orang.
Kemudian terdapat data lain yang diperoleh dari Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas), yang menyatakan bahwa kasus kekerasan di Indonesia pada tahun 2011
meningkat drastis mencapai lima juta kasus.[7] Sudaryono, Tenaga Ahli
Pengkaji Bidang Sosial Budaya Lemhannas, mengatakan bahwa Indonesia menyimpan
potensi konflik sangat besar dari berbagai dimensi kehidupan. Fakta mengenai
konflik menerangkan bahwa akar masalah terjadi dari kondisi-kondisi di
sekeliling kita, salah satunya adalah kesenjangan sosial. Sehingga bila
perbedaan ditanggapi dengan intoleransi, maka akan muncul terjadinya kekerasan.[8]
Menyikapi kasus-kasus konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia,
pemerintah dibawah Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerjasama
dengan The Habibie Center dan Bank Dunia meluncurkan situs Sistem Nasional
Pemantauan Kekerasan (SNPK) pada 7 Desember 2012. SNPK dapat diakses dalam http://www.snpk-indonesia.com.
Situs yang menyediakan data dan analisis tentang konflik dan kekerasan ini
dimaksudkan untuk meredam dan mencegah terjadinya konflik di Indonesia, dengan
memetakan residu konflik lama dan mendeteksi permasalahan baru.[9] Berikut adalah data
kekerasan yang dihimpun dari situs SNPK[10]:
Berdasarkan data tersebut, konflik identitias menempati urutan keempat
setelah kriminalitas, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan konflik main
hakim sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa konflik indentitas masih sangat rentan
di Indonesia yang penuh dengan keanekaragaman ini. Keanekaragaman benar-benar
menjadi ancaman bila tidak disikapi dengan rasa toleransi.
Berikut adalah beberapa contoh kasus konflik kekerasan berbasis identitas
di Indonesia. Laporan tanggal 19 November 2013, di Sekitaran Suku Dani Kec.
Kuala Kencana, Kab. Mimika, Papua, terjadi bentrokan antara kelompok warga Suku
Damal yang berjumlah 40 orang dengan kelompok warga Suku Dani. Konflik inimengakibatkan
satu rumah dirusak dengan menggunakan berbagai macam senjata tajam dan hampir
dibakar. Beruntung polisi yang datang langsung menghentikan dan mengamankan
situasi. Kejadian itu terjadi karena terkait permasalahan saling klaim
kepemilikan tanah di Jalan Caritas samping pembangunan Sport Complex.[11]
Kemudian di kasus yang terjadi di Ambon,
bermula dari perkelahian antara dua orang dengan masalah sepele. Kasus di
Lampung juga berawal dari ketersinggungan warga karena ada anak gadis yang
digoda. Tetapi karena tidak segera diatasi oleh Pemerintah Daerah maupun aparat
kepolisian, akhirnya persoalan meluas menjadi isu SARA.[12]
Kasus lain yang bermula dari persoalan sederhana non-agama menjadi kasus
berbasis agama yang melibatkan banyak orang juga terjadi di Sampang, Madura
dalam konflik ajaran Sunni-Syi’ah, yang
juga terjadi di Puger, Jember. Di Sampang, Madura, banyak yang menganalisis
bahwa permasalahan bermula dari masalah “cinta”. Kemudian di Puger, Jember,
permasalahan berawal dari larangan
karnaval yang dilakukan oleh ratusan siswa PAUD sampai SMK di bawah naungan
Pesantren Darus Sholihin. Larangan Muspika Puger terhadap acara ini bukan tanpa
alasan, karena di luar pesantren, masyarakat Puger telah bersiap-siap untuk
melakukan penghadangan dan penyerangan.[13]
Konsep Multikulturalisme
Brian Barry mendefinisikan multikulturalisme sebagai sesuatu yang sangat menekankan pada identitas kultur suatu individu dalam komunitas.[14] Bhattacharyya dalam artikelnya “Riding Multiculturalism” juga menjelaskan kehidupan multikulturalisme di Inggris yang selalu menjadi perdebatan, utamanya dalam hal edukasi.[15] Multikulturalisme di Inggris, diartikan sebagai ‘broaden the curriculum’ yang berlangsung di sekolah, tempat-tempat kesenian musik, literatur, dan sebagainya, dimana tempat-tempat tersebut menjadi pertemuan beragam individu yang menimbulkan perdebatan multikulturalisme. Bhattacharyya mengungkapkan bahwa akhirnya terdapat pergeseran definisi dari ‘multikulturalisme’ menjadi ‘pluralisme’ yang dianggap lebih tepat dan mengacu pada makna yang spesifik sebagai metode untuk menjaga perdamaian.
Brian Barry mendefinisikan multikulturalisme sebagai sesuatu yang sangat menekankan pada identitas kultur suatu individu dalam komunitas.[14] Bhattacharyya dalam artikelnya “Riding Multiculturalism” juga menjelaskan kehidupan multikulturalisme di Inggris yang selalu menjadi perdebatan, utamanya dalam hal edukasi.[15] Multikulturalisme di Inggris, diartikan sebagai ‘broaden the curriculum’ yang berlangsung di sekolah, tempat-tempat kesenian musik, literatur, dan sebagainya, dimana tempat-tempat tersebut menjadi pertemuan beragam individu yang menimbulkan perdebatan multikulturalisme. Bhattacharyya mengungkapkan bahwa akhirnya terdapat pergeseran definisi dari ‘multikulturalisme’ menjadi ‘pluralisme’ yang dianggap lebih tepat dan mengacu pada makna yang spesifik sebagai metode untuk menjaga perdamaian.
“Social participation rests on the acceptance
of certain overarching values – difference is acceptable as long as these are
not disturbed. Distinct ethnic identities are to be protected, and even
encouraged, but only within this framework of ‘a set of shared values’.
Difference is therefore acceptable as long as it does not lead to dissent, or
the contestation of ‘majority’ values”.[16]
Berdasarkan paragraf di atas, perlu disoroti kalimat yang menyatakan bahwa perbedaan akan diterima selama tidak mengganggu, dan identitas etnis yang berbeda (minor) perlu dilindungi haknya. Hal tersebut diaplikasikan di kota Birmingham yang memiliki ‘Chinese Street’, yakni tempat berkumpulnya orang-orang Cina untuk membuka bisnis, outlet, dan sebagainya. Kaum minoritas (etnis Cina) di Inggris diberi tempat tersendiri untuk memperoleh haknya, sekalipun pada dasarnya terdapat fakta-fakta kebencian orang Inggris terhadap orang-orang beretnis Cina karena dianggap menguasai perekonomian mereka.
Perspektif Liberal dalam Pengakuan Hak-Hak Minoritas – Will Kymlicka
Dilanjutkan dengan teori Kymlicka mengenai
‘hak-hak minoritas’ yang diadopsi dari pemikiran liberal, menekankan bahwa
suatu komunitas yang berisikan orang-orang minoritas memerlukan dukungan dalam
perjuangannya memperoleh identitas, pengakuan, dan keamanan dalam politik
liberal yang sulit atau kejam. Pada intinya, ketika berbicara mengenai multikulturalisme,
kita tidak bisa mengabaikan keberadaan kaum minoritas yang perlu dijamin hak
dan kebebasannya. Pandangan liberal akan menekankan pada dua hal: kebebasan
dalam kelompok minoritas dan kesetaraan antara kelompok minoritas dan
mayoritas.[17] Namun kedua hal tersebut
memiliki batasan-batasan, dimana kebebasan dalam kelompok bukan berarti bebas
memaksakan kehendak pada individu lain yang berakibat merugikan kelompoknya
sendiri.
Lebih jauh, Kymlicka menjelaskan bahwa dalam
memahami hak-hak minoritas, terdapat suatu hal yang sangat penting yakni
toleransi. Berikut adalah pandangan Kymlicka mengenai toleransi, “Liberalism
and toleration are closely related, both historically and conceptually. The development of religious
tolerance was one of the historical roots of
liberalism”.[18]
Toleransi akan terbentuk ketika individu dalam satu kelompok atau komunitas
menyadari dan menghargai prinsip-prinsip kebebasan individu. Namun toleransi
akan lebih mudah diaplikasikan pada masyarakat yang memiliki pemikiran liberal,
masyarakat demokratis seperti Indonesia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Berbeda hal ketika mengakomodasi kaum minoritas
non-liberal, yang terikat pada hukum-hukum atau aturan atau tradisi tertentu
yang mengkonstruksi pemikiran individu atau kelompok di dalamnya. Sebagai
contoh, negara Saudi Arabia tidak memberikan hak suara dalam bidang politik
kepada perempuan dan warga non-muslim karena sudah menjadi hukumnya. Tetapi
bukan berarti orang (berpandangan liberal) dapat memaksa atau mengintervensi
pemerintah Saudi Arabia untuk memberika hak suara pada perempuan dan warga
non-muslim. Sehingga dalam mengakomodasi kaum minoritas non-liberal, hal yang
berlaku adalah moral judgement. Masyarakat
yang berada di luar komunitas minoritas non-liberal tersebut hanya memiliki
tanggung jawab untuk menyuarakan pandangan-pandangan keadilan pada publik,
tetapi tidak berhak melakukan intervensi terhadap aturan pemerintah atau
pemimpin dalam suatu negara atau suatu komunitas.[19]
Ancaman Toleransi: Narsisisme
Michael Ignatieff menyatakan bahwa, “nationalism is a fiction
: it requires the willing suspension of disbelief. To believe in nationalist
fictions is to forget certain realities.”[20]
Kalimat tersebut merupakan pernyataan bahwa ketika manusia berusaha menjadi
seorang ‘nasionalis’, berarti ia harus menanggalkan segala identitas realita bersifat
individu dalam dirinya, selain daripada identitas nasional sendiri. Tidak hanya
itu, menjadi seorang nasionalis pun dapat dipengaruhi oleh ‘rasa takut’
mengenai siapa yang akan memproteksi dirinya saat terjadi kerusuhan atau
perpecahan. Dalam kondisi tersebut, antar individu akan berusaha bekerjasama
dan memperjuangkan identitas nasional, mengabaikan identitas individu.
Sigmund Freud, seorang pakar psikologi dari Jerman
menjelaskan bahwa semakin ras atau hubungan memiliki kedekatan yang erat, maka
kecemburuan yang akan dihasilkan dari konflik semakin tinggi, seperti yang
terjadi pada Jerman Utara dan Jerman Selatan, orang-orang Inggris dengan
Skotlandia, serta orang-orang Spanyol yang memandang rendah bangsa Portugis.
Sikap memandang rendah merupakan inti dari kata “narsisisme”, dimana seseorang
atau sebuah bangsa menganggap dirinya lebih superior dibandingkan bangsa
lainnya. Sigmund Freud menjelaskan bahwa seorang nasionalis, dalam kata lain,
mentransformasikan perbedaan-perbedaan kecil dalam dirinya (minor differences) menjadi perbedaan-perbedaan
besar (major differences).[21]
Bila dijabarkan, kata minor differences
dapat berupa etnis, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya yang
ditransformasikan menjadi sesuatu yang diagungkan atau dimuliakan, dan
menganggap bahwa hanya kelompoknya atau bangsanya yang memiliki hal tersebut.
Narsisisme merupakan hal yang mereduksi rasa toleransi dalam sebuah negara,
bahkan dunia. Sama seperti asal bagaimana kata “narcissis” itu diambil, yakni
dari mitos Yunani, seorang bernama Narcissus yang sangat mencintai dirinya
ketika melihat wajahnya dalam bayangan air jernih dan akhirnya mati karena
kebodohannya tersebut.
Solusi :
Pengembangan Toleransi dengan Pendidikan dan Dialog
Memiliki rasa toleransi dan menghargai
perbedaan yang dimiliki individu atau kelompok lain bukanlah hal yang
sederhana. Namun dengan meningkatkan pendidikan berbasis multikulturalisme
dapat menjadi solusi pertama dalam menyikapi konflik kekerasan yang terjadi.
Pemahaman mengenai toleransi harus dibangun dan mengakar kuat pada pribadi
individu. Persoalannya, di Indonesia masih banyak masyarakat yang memiliki
pemikiran konvensional, terpatok pada hukum adat, terikat pada cerita-cerita
nenek moyang yang menganggap etnis atau sukunya lebih dibandingkan suku lain,
pemikiran persaingan, dan lain-lain. Banyak masyarakat di daerah-daerah yang
tidak mendapatkan pendidikan sehingga pemikiran mereka menjadi sulit untuk
terbuka dan terkurung dalam kesalah-pahaman. Sebagai contoh, cerita sederhana
dalam masyarakat suku Jawa yang berasumsi bahwa orang Madura adalah orang yang
kasar, pelit, menguasai perdagangan sehingga harus “dilawan”. Kemudian orang
Jawa juga masih banyak yang menganggap etnis Tionghoa adalah para penjajah dari
zaman dahulu sampai sekarang, sehingga kita harus melawan eksistensi mereka. Sikap-sikap
seperti itu yang tidak disertai dengan pemikiran terbuka, pemahaman sejarah,
pendidikan, pemahaman sosial, dan sebagainya, tentu akan merusak keberagaman
dengan konflik-konflik.
Seorang budayawan Franz Magnis Suseno
mengatakan perlunya perombakan pada lini pendidikan moral di Indonesia guna
mencegah adanya kekerasan. “Pendidikan harus menancapkan tonggak moral yang
mengarah pada tanggung jawab”.[22]
Dalam penjelasan Magnis Suseno tersebut, pendidikan merupakan aspek utama.
Pendidikan dapat menancapkan akar-akar pemahaman yang dapat membuka pemikiran
masyarakat supaya tidak terkungkung pada pemahaman sempit. Masyarakat yang
tidak mendapat pendidikan, hanya mendengar apa yang terjadi di lingkungannya,
akan mengikis rasa toleransi yang seharusnya dimiliki.
Kedua, yang memampukan masyarakat untuk jauh
dari konflik kekerasan adalah dengan penyelenggaraan dialog atau komunikasi
terbuka. Will Kymlicka mengatakan, “Relations
between national groups should be determined by dialogue. It is the first step in
starting a dialogue”.[23]
Dialog antar golongan (mayoritas-minoritas) menjadi suatu solusi penting untuk
saling berbagi pemahaman dan sudut pandang supaya tidak tercipta mispersepsi
diantara kelompok-kelompok atau golongan-golongan.
Seringkali, apa yang dipikirkan atau
diasumsikan oleh sekelompok komunitas tidak disertai bukti atau fakta-fakta
yang sebenarnya tidak sesuai dengan realita. Direktur Kewaspadaan Nasional
Kementerian Dalam Negeri RI mengatakan pembentukan Forum Komunikasi dan
Koordinasi Penanganan Paham Radikal ialah untuk mencegah timbulnya paham
radikalisme di masyarakat. Budi Prasetyo mengatakan, “Konflik harus dicegah dan
hal itu perlu adanya kerja sama yang dibangun antara pemerintah daerah maupun
pusat dan semua lapisan masyarakat agar terbangun kesepahaman dalam mencegah
berkembangnya paham radikalisme”.[24]
Dalam proses dialog, memang diperlukan sinergi antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, masyarakat, dan aktor-aktor lain yang memiliki satu visi
sama dalam mendukung terciptanya toleransi dan perdamaian. Dalam konteks
Indonesia, pembentukan Forum Komunikasi dan Koordinasi Penanganan Paham Radikal
menjadi wadah penting untuk mereduksi konflik kekerasan.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang penuh dengan
keberagaman termasuk keberagaman etnis atau suku bangsa, dan agama. Keberagaman
dapat menjadi hal positif namun dapat juga menjadi ancaman. Data-data yang
dihimpun oleh pemerintah menunjukkan tingginya tingkat konflik kekerasan
berbasis identitas yang terjadi. Perspektif liberal yang dijelaskan oleh
William Kymlicka menekankan pentingnya menghargai kebebasan dalam kelompok
minoritas dan kesetaraan antar kelompok mayoritas-minoritas. Proses menghargai hak-hak
kaum minoritas memerlukan toleransi. Namun Michael Ignatieff menjelaskan bahwa
toleransi dapat terancam ketika suatu kelompok merasa dirinya lebih dari
kelompok lain (narsisisme).
Solusi utama untuk menyikapi konflik
kekerasan dengan perspektif multikulturalisme adalah dengan mengembangkan
pendidikan berbasis multikulturalisme kepada masyarakat dan menyelenggarakan
dialog untuk membuka pemahaman antar golongan, seperti dialog kebangsaan,
dialog keagamaan, dan lainnya. Namun disamping dua solusi yang berusaha
menyentuh akar tersebut, yang diperlukan terutama adalah sinergi dari berbagai
elemen masyarakat untuk mewujudkan perdamaian. Pemerintah, kaum akademisi,
masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan lainnya merupakan aktor-aktor
penting untuk mewujudkan masyarakat multikulturalisme yang damai.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Metro TV News, Jumlah Pulau di Indonesia
‘Berkurang’ 4.042 Buah, http://www.metrotv
news.com/metronews/read/2013/10/18/1/188980/Jumlah-Pulau-di-Indonesia-Berkurang-
4.042-Buah (diakses pada 14 Januari 2014).
[2]Statistics Indonesia, Jumlah Penduduk
Menurut Provinsi, http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel&kat=1&idtabel=111&Itemid=165
(diakses pada 14 Januari 2014).
[3]JPNN.com, Indonesia Miliki 1.128 Suku
Bangsa, http://www.jpnn.com/index.php? id=57455&mib=berita.detail (diakses
pada 14 Januari 2014).
[4] Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, dan
Anis Ananta, Penduduk Indonesia: Etnis
dan Agama dalam Era Perubahan Politik (LP3ES, 2003).
[5] Indonesia-Investments, Agama di
Indonesia, http://www.indonesia-investments.com/id/ budaya/agama/item69
(diakses pada 14 Januari 2014).
[6] Kompas.com, Aksi Kekerasan di Indonesia
Meningkat, http://megapolitan.kompas.com/
read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat (diakses pada 14
Januari 2014).
[7] Merdeka.com, Dalam Setahun Jumlah
Kekerasan Capai 5 Juta Kasus, http://www.merdeka. com/peristiwa/dalam-setahun-jumlah-kekerasan-capai-5-juta-kasus.html
(diakses pada 14 Januari 2014).
[8] Ibid
[9] Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah meluncurkan situs Sistem Nasional Pemantauan
Kekerasan (SNPK), http://www.menkokesra.go.id/content/ pemerintah-meluncurkan-situs-sistem-nasional-pemantauan-kekerasan-snpk
(diakses pada 14 Januari 2014).
[10] Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan
(SNPK), http://www.snpk-indonesia.com (diakses pada 14 Januari 2014).
[11] Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK),
http://www.snpk-indonesia.com (diakses pada 14 Januari 2014).
[12] Kompas.com, Aksi Kekerasan di Indonesia
Meningkat, http://megapolitan.kompas.com/
read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat (diakses pada 14
Januari 2014).
[13] Kompasiana, Mengurai Akar Konflik
Sunni-Syi’ah di Puger, Jember, http://politik.
kompasiana.com/2013/10/02/mengurai-akar-konflik-sunni-syiah-di-puger-jember-597798.
html (diakses pada 14 Januari 2014).
[14] Brian Barry, dalam Andrew Wright, The Politics Of Multiculturalism: A review
of Brian Barry, 2001, Culture and equality: An egalitarian critique of
multiculturalism (Cambridge: Polity Press, 2001).
[15] Gargi Bhattacharyya, “Riding
Multiculturalism”, dalam David Bennett (ed.), Multicultural States, (London: Routledge, 1998).
[16] Gargi Bhattacharyya, “Riding
Multiculturalism”, dalam David Bennett (ed.), Multicultural States, (London: Routledge, 1998), 253.
[17] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights,
(New York: Oxford University Press, 1995), 152
[18] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights,
(New York: Oxford University Press, 1995), 154-155
[19]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship:
A Liberal Theory of Minority Rights, (New York: Oxford University Press,
1995), 171
[20]
Michael Ignatieff,
“The Narcissism of Minor Difference”, dalam The
Warrior’s Honor (London: Chatto and
Windus, 1998), 34-71
[21]
Sigmund Freud, dalam
Michael Ignatieff (ed.), The Narcissism
of Minor Difference (London: Chatto and Windus, 1998), 51
[22] Merdeka.com, Dalam Setahun Jumlah
Kekerasan Capai 5 Juta Kasus, http://www.merdeka.
com/peristiwa/dalam-setahun-jumlah-kekerasan-capai-5-juta-kasus.html (diakses
pada 14 Januari 2014).
[23]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship:
A Liberal Theory of Minority Rights, (New York: Oxford University Press,
1995), 171
[24] Kompas.com, Aksi Kekerasan di Indonesia
Meningkat, http://megapolitan.kompas.com/
read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat (diakses pada 14
Januari 2014).
No comments:
Post a Comment