Tuesday 8 July 2014

Solusi Multikulturalisme dalam Konflik Kekerasan di Indonesia: Perspektif Liberal dalam Pengakuan Hak-Hak Minoritas

Oleh : Keiza Ayu Vriscilasari

“Jika perbedaan ditanggapi dengan intoleransi,
maka akan memicu terjadinya kekerasan”
– Sudaryono, Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sosial Budaya Lemhannas

Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keberagaman yang dimiliki, baik keberagaman kondisi alam maupun keberagaman budaya. Data terbaru dari Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2010 menyatakan jumlah pulau di Indonesia pada awalnya berjumlah 17.508 pulau, namun kini menjadi 13.466 pulau.[1] Sehingga dengan jumlah pulau sebanyak itu, dapat dibayangkan bahwa Indonesia memiliki tingkat keberagaman yang tinggi. Secara demografi, data sensus penduduk terakhir tahun 2005 dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk 218.868.7 jiwa.[2]
Dari jumlah penduduk yang lebih dari dua ratus jiwa tersebut, Badan Pusat Statistik menyampaikan informasi kepada Komisi XI DPR RI, bahwa jumlah suku bangsa yang dimiliki Indonesia pada tahun 2010 sebesar 1.128.[3] Untuk mengetahui jumlah suku bangsa tersebut, BPS melakukan kerja ekstra karena harus bersentuhan dengan hukum adat, masuk ke pedalaman-pedalaman, dan sebagainya, yang menunjukkan betapa Indonesia kaya dengan suku bangsa. Kemudian berikut adalah data 14 tahun silam, yakni tahun 2000 mengenai komposisi suku bangsa yang ada di Indonesia[4] :
Meskipun data tersebut tidak lagi benar-benar valid karena merupakan data sepuluh tahun silam, tetapi data tersebut dapat memberi gambaran mengenai suku mayoritas dan minoritas yang ada di Indonesia sampai saat ini. Diperkirakan suku Jawa, Sunda, Melayu, Madura, dan Batak masih menempati posisi teratas sebagai suku mayoritas yang ada di Indonesia, ditambah suku Tionghoa yang juga sudah semakin banyak. Tahun 2000, suku Tionghoa berjumlah 0.00% diakibatkan kerusuhan Mei 1998 yang memberangus habis suku Tionghoa. Namun berbeda dengan saat ini, suku Tionghoa telah menyebar luas di Indonesia dan mulai menguasai perekonomian. Kemudian perlu juga diketahui komposisi agama yang dimiliki Indonesia berdasar data Badan Pusat Statistik tahun 2010[5]:
          

Begitu banyak etnis atau suku bangsa dan agama yang terdapat di Indonesia dapat menjadi hal baik karena dapat memperkaya negara dengan keanekaragaman budaya. Dalam data-data yang sudah dipaparkan di atas, memang terlihat bagaimana Indonesia memiliki segala keanekaragaman tersebut. Tetapi di sisi lain, perlu juga dipahami bahwa dalam keanekaragaman tersebut, terdapat “penggolongan” yang dikonstruksi secara sosial mengenai kaum mayoritas dan minoritas.
Konflik Kekerasan Berbasis Identitas di Indonesia
Masih berkaitan dengan isu mayoritas-minoritas yang menjadi akar konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia, berikut dibahas terlebih dahulu mengenai data-data konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendargi) mencatat peningkatan paham radikalisme mencapai angkat tertinggi pada tahun 2012 yang mengalami kenaikan 80% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, telah terjadi 128 konflik di Indonesia akibat paham radikalisme. Pada tahun 2010, tercatat 93 konflik dan 2011 sebanyak 77 konflik.[6] Kemendagri memberi penjelasan bahwa kasus radikalisme di Indonesia sangat bervariasi, seperti perkelahian yang dipicu oleh persoalan sederhana tetapi tidak langsung diselesaikan sehingga berakibat pada tindakan kekerasan yang mencakup banyak orang.
Kemudian terdapat data lain yang diperoleh dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), yang menyatakan bahwa kasus kekerasan di Indonesia pada tahun 2011 meningkat drastis mencapai lima juta kasus.[7] Sudaryono, Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sosial Budaya Lemhannas, mengatakan bahwa Indonesia menyimpan potensi konflik sangat besar dari berbagai dimensi kehidupan. Fakta mengenai konflik menerangkan bahwa akar masalah terjadi dari kondisi-kondisi di sekeliling kita, salah satunya adalah kesenjangan sosial. Sehingga bila perbedaan ditanggapi dengan intoleransi, maka akan muncul terjadinya kekerasan.[8]
Menyikapi kasus-kasus konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia, pemerintah dibawah Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerjasama dengan The Habibie Center dan Bank Dunia meluncurkan situs Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) pada 7 Desember 2012. SNPK dapat diakses dalam http://www.snpk-indonesia.com. Situs yang menyediakan data dan analisis tentang konflik dan kekerasan ini dimaksudkan untuk meredam dan mencegah terjadinya konflik di Indonesia, dengan memetakan residu konflik lama dan mendeteksi permasalahan baru.[9] Berikut adalah data kekerasan yang dihimpun dari situs SNPK[10]:
                          
Berdasarkan data tersebut, konflik identitias menempati urutan keempat setelah kriminalitas, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan konflik main hakim sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa konflik indentitas masih sangat rentan di Indonesia yang penuh dengan keanekaragaman ini. Keanekaragaman benar-benar menjadi ancaman bila tidak disikapi dengan rasa toleransi.
Berikut adalah beberapa contoh kasus konflik kekerasan berbasis identitas di Indonesia. Laporan tanggal 19 November 2013, di Sekitaran Suku Dani Kec. Kuala Kencana, Kab. Mimika, Papua, terjadi bentrokan antara kelompok warga Suku Damal yang berjumlah 40 orang dengan kelompok warga Suku Dani. Konflik inimengakibatkan satu rumah dirusak dengan menggunakan berbagai macam senjata tajam dan hampir dibakar. Beruntung polisi yang datang langsung menghentikan dan mengamankan situasi. Kejadian itu terjadi karena terkait permasalahan saling klaim kepemilikan tanah di Jalan Caritas samping pembangunan Sport Complex.[11]
Kemudian di kasus yang terjadi di Ambon, bermula dari perkelahian antara dua orang dengan masalah sepele. Kasus di Lampung juga berawal dari ketersinggungan warga karena ada anak gadis yang digoda. Tetapi karena tidak segera diatasi oleh Pemerintah Daerah maupun aparat kepolisian, akhirnya persoalan meluas menjadi isu SARA.[12] Kasus lain yang bermula dari persoalan sederhana non-agama menjadi kasus berbasis agama yang melibatkan banyak orang juga terjadi di Sampang, Madura dalam konflik ajaran Sunni-Syi’ah,  yang juga terjadi di Puger, Jember. Di Sampang, Madura, banyak yang menganalisis bahwa permasalahan bermula dari masalah “cinta”. Kemudian di Puger, Jember, permasalahan berawal dari larangan karnaval yang dilakukan oleh ratusan siswa PAUD sampai SMK di bawah naungan Pesantren Darus Sholihin. Larangan Muspika Puger terhadap acara ini bukan tanpa alasan, karena di luar pesantren, masyarakat Puger telah bersiap-siap untuk melakukan penghadangan dan penyerangan.[13]
Konsep Multikulturalisme
Brian Barry mendefinisikan multikulturalisme sebagai sesuatu yang sangat menekankan pada identitas kultur suatu individu dalam komunitas.[14] Bhattacharyya dalam artikelnya “Riding Multiculturalism” juga menjelaskan kehidupan multikulturalisme di Inggris yang selalu menjadi perdebatan, utamanya dalam hal edukasi.[15] Multikulturalisme di Inggris, diartikan sebagai ‘broaden the curriculum’ yang berlangsung di sekolah, tempat-tempat kesenian musik, literatur, dan sebagainya, dimana tempat-tempat tersebut menjadi pertemuan beragam individu yang menimbulkan perdebatan multikulturalisme. Bhattacharyya mengungkapkan bahwa akhirnya terdapat pergeseran definisi dari ‘multikulturalisme’ menjadi ‘pluralisme’ yang dianggap lebih tepat dan mengacu pada makna yang spesifik sebagai metode untuk menjaga perdamaian.
“Social participation rests on the acceptance of certain overarching values – difference is acceptable as long as these are not disturbed. Distinct ethnic identities are to be protected, and even encouraged, but only within this framework of ‘a set of shared values’. Difference is therefore acceptable as long as it does not lead to dissent, or the contestation of ‘majority’ values”.[16]

Berdasarkan paragraf di atas, perlu disoroti kalimat yang menyatakan bahwa perbedaan akan diterima selama tidak mengganggu, dan identitas etnis yang berbeda (minor) perlu dilindungi haknya. Hal tersebut diaplikasikan di kota Birmingham yang memiliki ‘Chinese Street’, yakni tempat berkumpulnya orang-orang Cina untuk membuka bisnis, outlet, dan sebagainya. Kaum minoritas (etnis Cina) di Inggris diberi tempat tersendiri untuk memperoleh haknya, sekalipun pada dasarnya terdapat fakta-fakta kebencian orang Inggris terhadap orang-orang beretnis Cina karena dianggap menguasai perekonomian mereka.
Perspektif Liberal dalam Pengakuan Hak-Hak Minoritas – Will Kymlicka
Dilanjutkan dengan teori Kymlicka mengenai ‘hak-hak minoritas’ yang diadopsi dari pemikiran liberal, menekankan bahwa suatu komunitas yang berisikan orang-orang minoritas memerlukan dukungan dalam perjuangannya memperoleh identitas, pengakuan, dan keamanan dalam politik liberal yang sulit atau kejam. Pada intinya, ketika berbicara mengenai multikulturalisme, kita tidak bisa mengabaikan keberadaan kaum minoritas yang perlu dijamin hak dan kebebasannya. Pandangan liberal akan menekankan pada dua hal: kebebasan dalam kelompok minoritas dan kesetaraan antara kelompok minoritas dan mayoritas.[17] Namun kedua hal tersebut memiliki batasan-batasan, dimana kebebasan dalam kelompok bukan berarti bebas memaksakan kehendak pada individu lain yang berakibat merugikan kelompoknya sendiri.
Lebih jauh, Kymlicka menjelaskan bahwa dalam memahami hak-hak minoritas, terdapat suatu hal yang sangat penting yakni toleransi. Berikut adalah pandangan Kymlicka mengenai toleransi, “Liberalism and toleration are closely related, both historically and conceptually. The development of religious tolerance was one of the historical roots of liberalism”.[18] Toleransi akan terbentuk ketika individu dalam satu kelompok atau komunitas menyadari dan menghargai prinsip-prinsip kebebasan individu. Namun toleransi akan lebih mudah diaplikasikan pada masyarakat yang memiliki pemikiran liberal, masyarakat demokratis seperti Indonesia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Berbeda hal ketika mengakomodasi kaum minoritas non-liberal, yang terikat pada hukum-hukum atau aturan atau tradisi tertentu yang mengkonstruksi pemikiran individu atau kelompok di dalamnya. Sebagai contoh, negara Saudi Arabia tidak memberikan hak suara dalam bidang politik kepada perempuan dan warga non-muslim karena sudah menjadi hukumnya. Tetapi bukan berarti orang (berpandangan liberal) dapat memaksa atau mengintervensi pemerintah Saudi Arabia untuk memberika hak suara pada perempuan dan warga non-muslim. Sehingga dalam mengakomodasi kaum minoritas non-liberal, hal yang berlaku adalah moral judgement. Masyarakat yang berada di luar komunitas minoritas non-liberal tersebut hanya memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan pandangan-pandangan keadilan pada publik, tetapi tidak berhak melakukan intervensi terhadap aturan pemerintah atau pemimpin dalam suatu negara atau suatu komunitas.[19]
Ancaman Toleransi: Narsisisme
Michael Ignatieff menyatakan bahwa, “nationalism is a fiction : it requires the willing suspension of disbelief. To believe in nationalist fictions is to forget certain realities.”[20] Kalimat tersebut merupakan pernyataan bahwa ketika manusia berusaha menjadi seorang ‘nasionalis’, berarti ia harus menanggalkan segala identitas realita bersifat individu dalam dirinya, selain daripada identitas nasional sendiri. Tidak hanya itu, menjadi seorang nasionalis pun dapat dipengaruhi oleh ‘rasa takut’ mengenai siapa yang akan memproteksi dirinya saat terjadi kerusuhan atau perpecahan. Dalam kondisi tersebut, antar individu akan berusaha bekerjasama dan memperjuangkan identitas nasional, mengabaikan identitas individu.
Sigmund Freud, seorang pakar psikologi dari Jerman menjelaskan bahwa semakin ras atau hubungan memiliki kedekatan yang erat, maka kecemburuan yang akan dihasilkan dari konflik semakin tinggi, seperti yang terjadi pada Jerman Utara dan Jerman Selatan, orang-orang Inggris dengan Skotlandia, serta orang-orang Spanyol yang memandang rendah bangsa Portugis. Sikap memandang rendah merupakan inti dari kata “narsisisme”, dimana seseorang atau sebuah bangsa menganggap dirinya lebih superior dibandingkan bangsa lainnya. Sigmund Freud menjelaskan bahwa seorang nasionalis, dalam kata lain, mentransformasikan perbedaan-perbedaan kecil dalam dirinya (minor differences) menjadi perbedaan-perbedaan besar (major differences).[21] Bila dijabarkan, kata minor differences dapat berupa etnis, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya yang ditransformasikan menjadi sesuatu yang diagungkan atau dimuliakan, dan menganggap bahwa hanya kelompoknya atau bangsanya yang memiliki hal tersebut. Narsisisme merupakan hal yang mereduksi rasa toleransi dalam sebuah negara, bahkan dunia. Sama seperti asal bagaimana kata “narcissis” itu diambil, yakni dari mitos Yunani, seorang bernama Narcissus yang sangat mencintai dirinya ketika melihat wajahnya dalam bayangan air jernih dan akhirnya mati karena kebodohannya tersebut.
Solusi : Pengembangan Toleransi dengan Pendidikan dan Dialog

Memiliki rasa toleransi dan menghargai perbedaan yang dimiliki individu atau kelompok lain bukanlah hal yang sederhana. Namun dengan meningkatkan pendidikan berbasis multikulturalisme dapat menjadi solusi pertama dalam menyikapi konflik kekerasan yang terjadi. Pemahaman mengenai toleransi harus dibangun dan mengakar kuat pada pribadi individu. Persoalannya, di Indonesia masih banyak masyarakat yang memiliki pemikiran konvensional, terpatok pada hukum adat, terikat pada cerita-cerita nenek moyang yang menganggap etnis atau sukunya lebih dibandingkan suku lain, pemikiran persaingan, dan lain-lain. Banyak masyarakat di daerah-daerah yang tidak mendapatkan pendidikan sehingga pemikiran mereka menjadi sulit untuk terbuka dan terkurung dalam kesalah-pahaman. Sebagai contoh, cerita sederhana dalam masyarakat suku Jawa yang berasumsi bahwa orang Madura adalah orang yang kasar, pelit, menguasai perdagangan sehingga harus “dilawan”. Kemudian orang Jawa juga masih banyak yang menganggap etnis Tionghoa adalah para penjajah dari zaman dahulu sampai sekarang, sehingga kita harus melawan eksistensi mereka. Sikap-sikap seperti itu yang tidak disertai dengan pemikiran terbuka, pemahaman sejarah, pendidikan, pemahaman sosial, dan sebagainya, tentu akan merusak keberagaman dengan konflik-konflik.

Seorang budayawan Franz Magnis Suseno mengatakan perlunya perombakan pada lini pendidikan moral di Indonesia guna mencegah adanya kekerasan. “Pendidikan harus menancapkan tonggak moral yang mengarah pada tanggung jawab”.[22] Dalam penjelasan Magnis Suseno tersebut, pendidikan merupakan aspek utama. Pendidikan dapat menancapkan akar-akar pemahaman yang dapat membuka pemikiran masyarakat supaya tidak terkungkung pada pemahaman sempit. Masyarakat yang tidak mendapat pendidikan, hanya mendengar apa yang terjadi di lingkungannya, akan mengikis rasa toleransi yang seharusnya dimiliki.
Kedua, yang memampukan masyarakat untuk jauh dari konflik kekerasan adalah dengan penyelenggaraan dialog atau komunikasi terbuka. Will Kymlicka mengatakan, “Relations between national groups should be determined by dialogue. It is the first step in starting a dialogue”.[23] Dialog antar golongan (mayoritas-minoritas) menjadi suatu solusi penting untuk saling berbagi pemahaman dan sudut pandang supaya tidak tercipta mispersepsi diantara kelompok-kelompok atau golongan-golongan.

Seringkali, apa yang dipikirkan atau diasumsikan oleh sekelompok komunitas tidak disertai bukti atau fakta-fakta yang sebenarnya tidak sesuai dengan realita. Direktur Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri RI mengatakan pembentukan Forum Komunikasi dan Koordinasi Penanganan Paham Radikal ialah untuk mencegah timbulnya paham radikalisme di masyarakat. Budi Prasetyo mengatakan, “Konflik harus dicegah dan hal itu perlu adanya kerja sama yang dibangun antara pemerintah daerah maupun pusat dan semua lapisan masyarakat agar terbangun kesepahaman dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme”.[24] Dalam proses dialog, memang diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan aktor-aktor lain yang memiliki satu visi sama dalam mendukung terciptanya toleransi dan perdamaian. Dalam konteks Indonesia, pembentukan Forum Komunikasi dan Koordinasi Penanganan Paham Radikal menjadi wadah penting untuk mereduksi konflik kekerasan.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keberagaman termasuk keberagaman etnis atau suku bangsa, dan agama. Keberagaman dapat menjadi hal positif namun dapat juga menjadi ancaman. Data-data yang dihimpun oleh pemerintah menunjukkan tingginya tingkat konflik kekerasan berbasis identitas yang terjadi. Perspektif liberal yang dijelaskan oleh William Kymlicka menekankan pentingnya menghargai kebebasan dalam kelompok minoritas dan kesetaraan antar kelompok mayoritas-minoritas. Proses menghargai hak-hak kaum minoritas memerlukan toleransi. Namun Michael Ignatieff menjelaskan bahwa toleransi dapat terancam ketika suatu kelompok merasa dirinya lebih dari kelompok lain (narsisisme).
Solusi utama untuk menyikapi konflik kekerasan dengan perspektif multikulturalisme adalah dengan mengembangkan pendidikan berbasis multikulturalisme kepada masyarakat dan menyelenggarakan dialog untuk membuka pemahaman antar golongan, seperti dialog kebangsaan, dialog keagamaan, dan lainnya. Namun disamping dua solusi yang berusaha menyentuh akar tersebut, yang diperlukan terutama adalah sinergi dari berbagai elemen masyarakat untuk mewujudkan perdamaian. Pemerintah, kaum akademisi, masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan lainnya merupakan aktor-aktor penting untuk mewujudkan masyarakat multikulturalisme yang damai.

DAFTAR PUSTAKA


[1] Metro TV News, Jumlah Pulau di Indonesia ‘Berkurang’ 4.042 Buah, http://www.metrotv news.com/metronews/read/2013/10/18/1/188980/Jumlah-Pulau-di-Indonesia-Berkurang- 4.042-Buah (diakses pada 14 Januari 2014).
[2]Statistics Indonesia, Jumlah Penduduk Menurut Provinsi, http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel&kat=1&idtabel=111&Itemid=165 (diakses pada 14 Januari 2014).
[3]JPNN.com, Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa, http://www.jpnn.com/index.php? id=57455&mib=berita.detail (diakses pada 14 Januari 2014).
[4] Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, dan Anis Ananta, Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik (LP3ES, 2003).
[5] Indonesia-Investments, Agama di Indonesia, http://www.indonesia-investments.com/id/ budaya/agama/item69 (diakses pada 14 Januari 2014).
[6] Kompas.com, Aksi Kekerasan di Indonesia Meningkat, http://megapolitan.kompas.com/ read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat (diakses pada 14 Januari 2014).
[7] Merdeka.com, Dalam Setahun Jumlah Kekerasan Capai 5 Juta Kasus, http://www.merdeka. com/peristiwa/dalam-setahun-jumlah-kekerasan-capai-5-juta-kasus.html (diakses pada 14 Januari 2014).
[8] Ibid
[9] Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah meluncurkan situs Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), http://www.menkokesra.go.id/content/ pemerintah-meluncurkan-situs-sistem-nasional-pemantauan-kekerasan-snpk (diakses pada 14 Januari 2014).
[10] Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), http://www.snpk-indonesia.com (diakses pada 14 Januari 2014).

[11] Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), http://www.snpk-indonesia.com (diakses pada 14 Januari 2014).
[12] Kompas.com, Aksi Kekerasan di Indonesia Meningkat, http://megapolitan.kompas.com/ read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat (diakses pada 14 Januari 2014).
[13] Kompasiana, Mengurai Akar Konflik Sunni-Syi’ah di Puger, Jember, http://politik. kompasiana.com/2013/10/02/mengurai-akar-konflik-sunni-syiah-di-puger-jember-597798. html (diakses pada 14 Januari 2014).
[14] Brian Barry, dalam Andrew Wright, The Politics Of Multiculturalism: A review of Brian Barry, 2001, Culture and equality: An egalitarian critique of multiculturalism (Cambridge: Polity Press, 2001).
[15] Gargi Bhattacharyya, “Riding Multiculturalism”, dalam David Bennett (ed.), Multicultural States, (London: Routledge, 1998).
[16] Gargi Bhattacharyya, “Riding Multiculturalism”, dalam David Bennett (ed.), Multicultural States, (London: Routledge, 1998), 253.
[17] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, (New York: Oxford University Press, 1995), 152
[18] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, (New York: Oxford University Press, 1995), 154-155
[19] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, (New York: Oxford University Press, 1995), 171
[20] Michael Ignatieff, “The Narcissism of Minor Difference”, dalam The Warrior’s Honor (London: Chatto and Windus, 1998), 34-71
[21] Sigmund Freud, dalam Michael Ignatieff (ed.), The Narcissism of Minor Difference (London: Chatto and Windus, 1998), 51
[22] Merdeka.com, Dalam Setahun Jumlah Kekerasan Capai 5 Juta Kasus, http://www.merdeka. com/peristiwa/dalam-setahun-jumlah-kekerasan-capai-5-juta-kasus.html (diakses pada 14 Januari 2014).
[23] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights, (New York: Oxford University Press, 1995), 171
[24] Kompas.com, Aksi Kekerasan di Indonesia Meningkat, http://megapolitan.kompas.com/ read/2013/03/15/2004574/Aksi.Kekerasan.di.Indonesia.Meningkat (diakses pada 14 Januari 2014).

No comments:

Post a Comment