Oleh : Keiza Ayu Vriscilasari
Era teknologi informasi dan komunikasi yang
dimulai pada abad ke-20 memberikan suatu perkembangan pada kehidupan umat
manusia. Kehidupan manusia pada era ini memiliki kelekatan dengan teknologi dan
informasi yang memberikan pergeseran makna dalam banyak hal, salah satunya
adalah tentang perang. Mary Kaldor (2000) terkenal dengan tesis “New War” yang
mencirikan aktor baru dalam peperangan, sehingga perang bukan lagi hanya
dilakukan oleh aktor negara (inter-nations)
namun juga melihat aktor-aktor diluar negara. Downing (2004) menambahkan suatu
penjelasan yang seolah melengkapi tesis Kaldor (2000), bahwa “New War” adalah
kondisi saat ini, dimana terdapat perkembangan definisi ‘perang’ yang tidak
lagi terbatas pada alat-alat militer, namun memasuki era perang informasi
melalui media massa atau media sosial. Media massa maupun media sosial melalui
internet, seakan menjadi aktor baru dalam hubungan internasional atas peranannya
yang signifikan. Penelitian ini akan membahas bagaimana “perang” yang terjadi
antara negara Amerika Serikat (AS) dan Iran pada revolusi di Iran tahun 2009,
yang melihat suatu arti penting dari media sosial.
Melihat sekilas hubungan Amerika Serikat (AS)
dan Iran secara historis, dapat dipahami bahwa kedua negara tersebut memiliki dinamika
hubungan yang konfliktual dan penuh ketegangan sejak dahulu. Tahun 1979 merupakan
tahun terjadinya revolusi Iran pertama dan dapat dikatakan sebagai momentum
awal yang menghancurkan hubungan kedua negara. Hal tersebut terjadi akibat
penyanderaan 52 warga AS yang bekerja di Kedutaan AS untuk Republik Iran di
Tehran selama 444 hari (Jones
2013). Masyarakat Iran menyerang dan menghancurkan Kedutaan AS di Iran karena
Presiden AS, Jimmy Carter, melindungi pemimpin Iran yakni Shah Reza Pahlevi
ketika melarikan diri pada revolusi Iran. Pasca peristiwa yang berakhir tahun
1981 tersebut, AS mengambil kebijakan untuk menghapus semua hubungan diplomatik
dengan Iran dan mengenakan sanksi ekonomi pada Iran (Jones 2013).
Pada tahun 1985-1986 terdapat suatu skandal
antara AS dan Iran, yakni penjualan persenjataan dari AS kepada Iran sebagai
timbal balik telah membebaskan orang sandera AS yang ditawan oleh Hezbollah di
Libanon (BBC News 2013). Hasil dari
penjualan tersebut, digunakan untuk mendanai gerakan anti-komunis di Nicaragua.
Kemudian pada tahun 1988 juga terdapat suatu perisitiwa yang diakui AS sebagai
suatu kesalahan atau ketidaksengajaan penembakan pesawat tempur AS bernama USS
Vincennes pada pesawat Iran Air yang sedang melakukan penerbangan. Dari
peristiwa ini, 290 orang yang mayoritas adalah warga Iran meninggal dunia (BBC News 2013). Memasuki abad ke-21,
tepatnya pada tahun 2002, terdapat suatu pernyataan dari Presiden AS, George
Bush, yang menimbulkan sakit hati bagi masyarakat Iran dan memperkeruh hubungan
yang ada. Dalam suatu pidato, Presiden George Bush menyatakan bahwa Iran adalah
“axis of evil” bersama dengan Irak dan Korea Utara (BBC News 2013). Diluar persoalan yang telah dijabarkan di atas,
terdapat juga masalah nuklir yang dikembangkan Iran, dan hal-hal lain yang mengindikasikan
bahwa hubungan kedua negara telah penuh dengan konflik dan permusuhan sejak
dahulu.
Revolusi Iran Pasca Pemilihan Umum Tahun 2009
Memasuki tahun 2009, sejarah mencatat terjadinya
revolusi (kedua) di Iran pasca pemilihan umum yang diselenggarakan pada hari
Jumat, 12 Juni 2009. Masyarakat Iran melakukan proses besar-besaran kepada
pemerintah akibat Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang terpilih kembali dan dicurigai
terdapat praktik kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah. Presiden
Ahmadinejad telah memerintah di Iran sejak tahun 2005. Sifat kepemimpinan khas
otoriter Presiden Ahmadinejad adalah alasan utama mengapa masyarakat Iran lebih
memilih kandidat oposisi Mir Hossein Mousavi, yang merupakan mantan Perdana
Menteri Iran dan memiliki peran penting pada Perang Iran-Irak tahun 1980-1988.
Mousavi absen dari dunia perpolitikan dan kembali pada dunia seni sejak dibuat
amandemen untuk menghapus posisi Perdana Menteri, diganti dengan lembaga
eksekutif yakni Presiden (Milani 2013). Kharisma yang dinilai kurang dimata
publik karena telah absen dari dunia politik cukup lama tetap membuat Mousavi
lebih unggul secara nilai dibanding Ahmadinejad (Milani 2013). Namun kenyataan
menghasilkan perolehan suara 66% bagi Ahmadinejad dan 33% bagi Mousavi (Evans
2009).
Dalam gerakan revolusi yang terjadi di Iran
tersebut, terdapat fenomena yang menunjukkan peran penting dari media sosial sebagai
alat penyebaran informasi dan komunikasi di Iran. Namun sebelum membahas
keterkaitan revolusi Iran dengan media sosial, berikut dibahas terlebih dahulu
bagaimana kondisi pengguna dan sistem pengamanan internet di Iran.
“This is a country
where you have tens of thousands of bloggers, and these bloggers have been in a
situation where the Internet has been filtered since 2004. Anyone worth their
salt knows how to find an open proxy [to get around government firewalls and
filters], knows how to work around censorship, The Iranian government, by
filtering the Internet for so long, has actually trained a cadre of people who
really know who to get around censorship” (Zuckerman 2009).
Hal yang perlu ditekankan dari pernyataan
tersebut adalah Iran merupakan negara yang melek dengan kehidupan teknologi dan
informasi. Pengguna internet dalam blog, Facebook, Twitter, dan lainnya,
ditambah dengan jumlah hacker
dan cracker
yang besar menunjukkan bahwa masyarakat Iran menggunakan media sosial sebagai
alat untuk menyebarkan maupun mendapatkan informasi. Namun pemerintah telah
memberlakukan sistem penyaringan terhadap jaringan internet sejak tahun 2004,
sehingga masyarakat tidak dengan bebas dan mudah menerima informasi yang datang
dari situs-situs luar. Sistem penyaringan internet oleh pemerintah ini tidak
lantas membuat masyarakat Iran terkurung, karena semakin mendorong kemunculan hacker maupun cracker yang melakukan pembobolan terhadap situs-situs yang
diproteksi pemerintah.
Jejaring Sosial
‘Twitter’ dan Revolusi Iran 2009
Berdasarkan data yang diambil dari Sysomos,
sebuah situs penyedia global yang melakukan pengawasan pada sosial media, berikut adalah data yang menunjukkan tingkat
pengguna Twitter di Iran dalam revolusi Iran, Juni 2009:
Gambar
1. 1
Tingkat Pengguna Twitter di Iran
Sumber : blog.sysomos.com
2009
Berdasarkan data tersebut, tampak suatu
kenaikan pengguna Twitter di Iran yang cukup signifikan pada Maret 2009 dan
Juni 2009. Jumlah total pengguna Twitter di Iran pada Juni 2009 adalah 19.235,
yang 93% berlokasi di Tehran (ibukota Iran), 0.94% di Shiraz, dan 0.83% di
Mashhad (Evans 2009). Jumlah sebesar 19.235 tersebut hanyalah 0.027% dari total
populasi di Iran saat itu, bahkan laporan dari Direktur Al-Jazeera mengatakan
hanya 60 akun Twitter yang aktif di Teheran ketika pihak penguasa Iran
memberangus jaringan komunikasi online (Morozov 2009).
Kemudian data merujuk pada dua tanggal penting:
11 Juni 2009 yang merupakan satu hari sebelum pemilihan umum berlangsung dan
tanggal 19 Juni 2009 yang menunjukkan mayoritas diskusi mengenai pasca
pemilihan umum. Berikut adalah data yang menunjukkan apa yang terjadi di dalam Twitter
pada dua tanggal tersebut:
Gambar 1. 2
Tingkat Persentase ‘Tweets’ Sehari Sebelum Pemilihan Umum Iran,
Tanggal 11 Juni 2009
Sumber : blog.sysomos.com 2009
Gambar 1. 3
Tingkat Persentase ‘Tweets’ Seminggu Setelah Pemilihan Umum Iran,
Tanggal 19 Juni 2009
Sumber : blog.sysomos.com 2009
Berdasarkan dua data yang telah ditampilkan
tersebut, terdapat perbedaan signifikan mengenai lokasi ‘tweets’ yang
ditelusuri dengan kata kunci “Iran Election”. Sehari sebelum pemilihan umum dimulai,
51.3% ‘tweets’ berasal dari Iran, sedangkan pada tanggal 19 Juni 2009, ‘tweets’
dari Iran hanya berjumlah sekitar 23.8%, kemudian 40.4% justru berasal dari
luar Iran. Hal ini mempertanyakan mengapa terjadi penurunan yang cukup
signifikan. Evans (2009) melakukan penelitian dan menganalisis data tersebut
dengan menjelaskan, “The lower percentage of Tweets from Iran
could also could be due to reports the Iranian government is blocking access to
the Internet and Twitter.”
Pemerintah Iran memang telah melakukan sistem
penyaringan pada internet sejak 2004, namun tidak memblok media sosial seperti
Facebook dan Twitter. Namun pasca pemilihan umum yang menghasilkan kemenangan
kembali Mahmoud Ahmadinejad, tepatnya hari Selasa 13 Juni 2009, pemerintah Iran
melakukan penutupan akses terhadap Facebook dan Twitter. Hal ini merupakan
suatu upaya untuk mencegah aliran penyebaran informasi pada publik mengenai apa
yang terjadi di Iran. Pemerintah Iran berargumen bahwa Facebook dan Twitter
merupakan alat berbahaya untuk mengorganisir pergerakan demonstrasi
anti-pemerintah (Bicchierai 2013). Sejak saat itu, masyarakat Iran hanya dapat
mengakses jaringan media sosial menggunakan perangkat lunak VPN untuk
terkoneksi dengan komputer di luar negara (Bicchierai 2013). Masyarakat Iran
juga dapat mengakses Twitter tidak melalui situs resmi Twitter, seperti www.tweetmeme.com
yang saat ini sudah ditutup.
Sebelum akhirnya ditutup oleh pemerintah
Iran, Twitter memiliki fungsi yang penting di Iran karena pemerintah melakukan
restriksi ketat terhadap akses jurnalis atau wartawan yang memasuki negara
Iran. Sehingga orang-orang yang melakukan protes terhadap hasil pemilihan umum
menggunakan Twitter sebagai sistem komunikasi yang menghubungkan langsung
dengan publik dan jurnalis, dengan cara melakukan posting status berita, video, dan foto-foto terkait dengan apa yang
terjadi pada Juni 2009 (Cohen 2009). Twitter dapat mempersatukan setiap orang
yang memiliki kepentingan atau minat sama dengan cara memberi hashtag. Dalam kasus revolusi Iran, hashtag yang digunakan adalah #IranElection,
sehingga siapapun pengguna Twitter yang ingin mengetahui situasi yang terjadi, dapat
menemukan informasi dengan mudah dan cepat.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam
Penguatan Peran Media Sosial di Iran
Masih berkaitan dengan fenomena penggunaan Twitter pada
revolusi Iran, Amerika Serikat merupakan aktor penting yang berperan
didalamnya. Perusahaan Twitter telah merencanakan untuk menutup akses Twitter
pada hari Senin 15 Juni 2009, dalam rangka melakukan fungsi pemeliharaan servis
internal. Seperti diketahui sebelumnya bahwa pemilihan umum berlangsung pada
hari Jumat, 12 Juni 2009. Jadi, jadwal penutupan jaringan Twitter yang
direncanakan pada tengah malam merupakan tiga hari pasca pemilihan umum. Informasi
jadwal penutupan sementara akses Twitter ini ternyata telah sampai dengan cepat
pada pemerintah AS karena Twitter mengirimkan pesan kepada seluruh pemiliki
akun.
Biasanya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak
pernah memiliki kepentingan dalam proses pemeliharaan (maintenance) yang dilakukan oleh situs-situs atau jejaring sosial.
Namun dalam kasus yang terjadi di Iran ini, mereka langsung menghubungi
perusahaan Twitter dan meminta untuk menunda proses upgrade jaringan yang telah dijadwalkan pada Senin malam (Grossman 2009). Dalam suatu wawancara kepada staf
Washington Post bernama Mike Musgrove, senior dari Departemen Luar Negeri AS
mengatakan, “One of the areas where people are able to get out the word is through
Twitter, they announced they were going to shut down their system for
maintenance and we asked them not to” (Musgrove 2009). Instruksi dari
Departemen Luar Negeri AS ini langsung dilaksanakan oleh perusahaan Twitter
yang menunda proses upgrade jaringan
menjadi hari Selasa, pukul 14.00 waktu AS atau pukul 01.30 waktu Tehran.
Kebijakan yang dikeluarkan AS tersebut menimbulkan
pertanyaan besar. Mengapa dalam hal ini AS memberi instruksi kepada perusahaan
Twitter untuk menunda proses upgrade
jaringan padahal jumlah pengguna Twitter di Iran saat itu hanya 0.027% dari
total populasi? Kepentingan apa yang berusaha didapatkan oleh AS melalui
peranan media sosial Twitter? Robert Gibbs, juru bicara Gedung Putih, mengatakan
bahwa kebebasan media dan alat komunikasi merupakan hal yang penting. Kemudian
PJ Crowley, asisten Menteri Luar Negeri juga menambahkan bahwa AS menjunjung
kebebasan berekspresi sehingga informasi harus digunakan sebagai cara untuk
mempromosikan kebebasan berekspresi (MacAskill 2009). Dalam pernyataan yang
diungkapkan oleh elite-elite AS tersebut, alasan tentang kebebasan berekspresi
menjadi dasar yang dijunjung atas tindakan instruksi untuk menunda penutupan
jaringan Twitter.
Namun, dibalik segala alasan yang telah menjadi ciri khas
AS mengenai kebebasan media, kebebasan berekspresi, dan lainnya, terdapat dua
gambaran sekaligus pertanyaan sebagai berikut: Pertama, tindakan AS dalam
memberi instruksi kepada perusahaan Twitter yang dilakukan dengan cepat
tersebut memberi suatu gambaran urgensi bahwa Twitter memang memiliki peran
signifikan dalam penyebaran informasi. Kedua, tindakan yang dilakukan AS ini
juga memberi penjelasan bahwa AS memiliki kepentingan nasional di Iran yang
membuat AS selalu berusaha mengumpulkan informasi dari negara target (Iran).
Suatu gambaran urgensi bahwa Twitter memiliki
peran penting pasca pemilihan umum 12 Juni 2009, dijelaskan lebih lanjut oleh
Zuckerman (dalam Schleifer 2009) bahwa media sosial pada kasus Iran ini memiliki
manfaat besar untuk membuat perlawanan
lokal menjadi perlawanan global. Tidak hanya itu, namun Twitter membuat manusia
dapat merasakan solidaritas secara global, selalu menaruh perhatian pada apa
yang sedang terjadi, dan memberikan sense
of involvement pada peristiwa yang sedang terjadi tersebut (Zuckerman dalam
Schleifer 2009).
Gambar 1. 4
Link
Terpopuler di Twitter pada 15-19 Juni 2009: Iran
Sumber : PEJ New Media Index 2009
Pernyataan dari Zuckerman bahwa Twitter telah
membuat suatu isu perlawanan lokal menjadi isu perlawanan global terjawab jelas
pada Gambar 1. 4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa link terpopuler yang di-posting
di Twitter pada tanggal 15-19 Juni 2009, yakni berjumlah 98% adalah mengenai
Iran. Sekalipun total pengguna Twitter di Iran hanya 0.027% dari total populasi,
tidak mengindikasikan bahwa Twitter tidak berpengaruh dalam revolusi Iran.
Sebaliknya, isu mengenai Iran menyebar dengan cepat dan menimbulkan perhatian
yang besar dari warga negara Iran maupun warga negara di luar Iran.
Informasi,
Teknologi Informasi, dan Perang
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai media
sosial Twitter yang menjadi media “perang” antara Amerika Serikat dengan Iran
pada revolusi Iran 2009, berikut
dijelaskan dua teori. Teori pertama diambil dari James Der Derian (2001) yang
menjelaskan tentang perang virtual dengan etik (virtuous virtual war) dan teori kedua diambil dari Paul Virilio mengenai
(1988) teori kecepatan.
Teori Virtuous Virtual War – Der
Derian
Teori pertama, Der Derian (2001 dalam
Rantapelkonen 2006, 52) berasumsi bahwa perang yang berada dalam realitas
virtual juga membentuk model perang riil. Virtuous
war dikatakan sebagai perang yang memadukan unsur kapabilitas teknis dan
etik (baik vs buruk) untuk mengancam
dengan kekerasan, dan bila perlu, untuk mengaktualisasi kekerasan dalam jarak
tertentu (Der Derian 2001 dalam Rantapelkonen 2006, 52). Sehingga dalam hal
ini, Der Derian (2001) menekankan bahwa jaringan-jaringan virtual yang tercipta
dalam masyarakat melalui teknologi informasi (internet) akan membawa masyarakat
pada perang virtual yang bersifat virtuous.
Berkaitan dengan kasus di atas, mengkaji
dalam lingkup domestik, jumlah pengguna Twitter di Iran hanya berjumlah 19.235
orang atau 0.027% dari total populasi. Namun mereka hidup dalam
jaringan-jaringan virtual yang terkoneksi dengan internet, sehingga terciptalah
suatu perang virtual antara masyarakat yang pro dengan pemerintahan kembali
Ahmadinejad dengan masyarakat yang pro dengan pemerintahan Mousavi. Perang di
dalam blog, Facebook, maupun Twitter antara mereka yang pro maupun oposisi
dengan pemerintah menciptakan “pengikut” virtual dengan sendirinya. Sehingga
asumsi Der Derian (2001 dalam Rantapelkonen 2006) yang menjelaskan bahwa perang
dalam realitas virtual juga membentuk model perang riil dapat terlihat dalam
bagaimana masyarakat Iran pada akhirnya melakukan protes datau perang secara
virtual dan riil. Mereka berperang dalam internet dengan argumentasi dan
berperang secara riil dengan senjata terhadap kaum oposisi.
Kemudian dalam hubungan AS dan Iran, upaya AS
menghentikan jadwal upgrade jaringan
perusahaan Twitter merupakan perang virtual antara kedua negara dengan Twitter
sebagai perantara. Tindakan AS tersebut direspon cepat oleh pemerintah Iran
dengan mem-blok situs-situs yang dinilai berbahaya (termasuk Twitter) dalam
penyebaran informasi oleh masyarakat Iran. Hubungan AS-Iran yang konfliktual
sejak lama, sering berperang secara riil dengan senjata militer, dan lainnya,
kini seolah terjadi juga dalam perang virtual.
Tidak hanya pada kalangan elite atau pembuat
kebijakan yang menggunakan wewenang untuk membuka jaringan Twitter (pemerintah
AS kepada masyarakat Iran) dan menutup jaringan Twitter (pemerintah Iran kepada
masyarakat Iran). Masyarakat, seperti peneliti, penstudi dari luar Iran,
terutama dari AS, yang mendapat berbagai informasi dari internet mengenai apa
yang terjadi di Iran, juga berlomba untuk menulis dan mempublikasikan pada
khalayak. Publikasi revolusi Iran 2009 oleh peneliti, penstudi, organisasi
non-pemerintah, maupun pemerintah AS menyebabkan bermunculan opini secara
internasional yang secara otomatis akan tergolong dalam dua sisi: AS atau Iran.
Pada akhirnya, masyarakat AS dan Iran, juga masyarakat internasional yang telah
terkoneksi dalam jaringan-jaringan virtual tersebut menciptakan perang virtual
bersifat virtuous.
Teori Kecepatan – Paul Virilio
Teori kedua, Virilio (1988 dalam
Rantapelkonen 2006, 53) menjelaskan bahwa akselerasi kecepatan dalam hal
teknologi dan informasi modern seringkali kehilangan kontrol, hanya
mengakselerasi kejadian tetapi mengabaikan konten dari kejadian itu sendiri. Dalam
teori kecepatan tersebut, Virilio (1988 dalam Rantapelkonen 2006, 53)
menekankan ‘konsep gambar’ sebagai berikut:
“... from now on everything
passes through the image. The image has priority over the thing, the object,
and sometimes even the physically present being. Just as real time,
instantaneousness, has priority over space. Therefore the image is invasive and
ubiquitous. Its role is not in the domain of art, the military domain or the
technical domain, it is to be everywhere, to be reality.”
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa
gambar (dan kata-kata) memiliki peran penting karena dapat ditemukan dimanapun
dan dapat menceritakan peristiwa lebih riil dibandingkan dengan peristiwa itu
sendiri. Virilio (1988 dalam Rantapelkonen 2006, 53) menambahkan bahwa dalam teknologi baru, realitas virtual
memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan realitas aktual. Namun
penstudi lain, Douglas Kellner (2000 dalam Rantapelkonen 2006) mengkritik
asumsi Virolio (1998) dengan mengatakan bahwa ketika gambar dengan cepat
menyebar dan dipercaya masyarakat, kebenaran akan bersifat relatif, karena
tidak hanya menciptakan persepsi tetapi juga mispersepsi.
Twitter sebagai media sosial yang dapat mem-posting berita dalam 140 karakter, juga
link website, mengunggah foto maupun video, seolah menggantikan fungsi media
massa seperti koran, radio, maupun televisi. Twitter menjadi diminati karena
gambar-gambar yang diunggah oleh para demonstran di Tehran dapat menjelaskan
kejadian secara riil dan dapat dibaca seluruh pengguna Twitter di dunia hanya
dalam hitungan detik. Sesuai dengan Virilio (1988), bahwa teori kecepatan
memiliki relasi dengan konsep gambar (image),
sekalipun konten dari peristiwa tersebut tidak ada yang menjamin apakah benar
adanya ataukah rekayasa dari orang yang mengunggah gambar atau tulisan. Telah
dibahas sebelumnya bahwa jumlah link
terpopuler di Twitter sebesar 98% pada 15-19 Juni 2009 dari data yang diambil
oleh kumpulan jurnalis, PEJ New Media Index, menggambarkan bukti riil bahwa jumlah
pengguna Twiter di Iran tidak berbanding lurus dengan tingkat penyebaran
informasi. Teknologi dan informasi memang memiliki ‘kecepatan’ yang tinggi
untuk tersebar, terkhusus Twitter yang memiliki fungsi re-tweet (RT) atau mem-posting
ulang apa yang sudah dipublikasikan orang lain.
Kembali pada tindakan AS dan perusahaan
Twitter, upaya AS untuk menginstruksikan penundaan upgrade jaringan Twitter dengan waktu penundaan tidak lebih dari 20
jam tersebut tentu memiliki dampak yang besar. Tidak perlu dalam hitungan jam,
dalam hitungan detik saja, Twitter sudah dapat menyebarkan ribuan informasi
yang dapat diakses oleh seluruh pengguna Twitter di dunia. Sehingga bila
terdapat asumsi yang menanyakan signifikansi efek dari penundaan upgrade jaringan Twitter yang kurang
dari 20 jam tersebut, jawaban yang diberikan adalah satu: sangat signifikan.
Hal tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa
Twitter adalah satu-satunya alat komunikasi yang dapat digunakan masyarakat
Iran karena pemerintah menutup semua akses komunikasi. Pejabat Departemen Luar
Negeri AS mengatakan kepada reporter, sebagai berikut: “Twitter service was all the more important because the
Iranian government had shut down other websites, cell phones, and newspapers” (Carmichael 2009). Tidak ada alat komunikasi lain untuk
masyarakat Iran menyampaikan pada “pihak luar” mengenai apa yang terjadi, dalam
rangka meminta pertolongan ataupun dukungan internasional. Sehingga apa yang
dilakukan oleh AS kepada perusahaan Twitter adalah kebijakan yang tepat
sasaran.
Kesimpulan
Peran signifikan media sosial pada era
teknologi komunikasi dan informasi bukan lagi hal yang patut dipertanyakan. Media
sosial melalui internet memiliki fungsi komunikasi dan penyebaran informasi dengan
cepat, murah, dapat dilakukan dimana saja, dan kapan saja. Dalam kasus pasca
pemilihan umum di Iran atau yang dikenal dengan revolusi Iran 2009, Twitter
sebagai media sosial memiliki peran signifikan yang mendorong persebaran
informasi. Sehingga Twitter tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu
mengorganisir pergerakan revolusi dalam masyarakat Iran, namun Twitter juga
telah menyebarkan pesan kepada dunia bahwa Iran dipimpin oleh diktator Presiden
Mahmoud Ahmadinejad yang membawa penderitaan masyarakat. Sependapat dengan
Kellner (2000) yang mengkritik Virolio (1988) bahwa yang terjadi bukan hanya
tentang ‘kecepatan’, tetapi kebenaran yang menjadi relatif, segala pesan yang
tersebar akan membentuk persepsi para pembaca, termasuk mispersepsi. Sehingga segala
pesan yang menyebar di Twitter mengenai revolusi Iran adalah konstruksi yang
tertanam pada masing-masing pembaca.
Selain itu Twitter juga memudahkan negara
tandingan, Amerika Serikat, dalam menggalang segala informasi yang terkait
dengan Iran. Dengan informasi yang berhasil dihimpun tersebut, AS dapat mengetahui
kondisi Iran dalam segala kekuatan dan kelemahan yang sedang dimiliki. Seperti
diketahui bahwa hubungan konfliktual antara AS-Iran sejak lama, membuat kedua
negara selalu bersaing untuk memenangkan pertarungan. Kepentingan yang berusaha
dicapai AS, terkhusus kepentingan AS terhadap nuklir Iran, akan menjadi lebih
mudah ketika ada media sosial Twitter yang berfungsi sebagai media “perang”.
Penulis berpendapat bahwa total pemilik akun
di Iran yang hanya berjumlah 0.027% dari total populasi dan sistem filter internet
yang diberlakukan pemerintah Iran sejak 2004, tidak mengindikasikan bahwa peran
Twitter di negara ini tidak signifikan. Dengan kehebatan teknologi media sosial
Twitter yang dapat menyebarkan berita dalam detik, menggolongkan pengguna pada
berita yang dipilih dengan hashtag,
dan dapat mengunggah foto maupun video, membuat Twitter dapat berperan dengan
signifikan. Kemudian, terkait dengan tindakan AS yang menginstruksikan
perusahaan Twitter untuk menunda jadwal upgrade
dan pemeliharaan jaringan, AS nampaknya telah melakukan tindakan yang cepat dan
tepat sasaran. Karena dalam satu minggu pasca pemilihan umum Iran 12 Juni 2009,
masyarakat Iran sedang bergejolak, melakukan protes besar-besaran. Dengan
ditundanya jadwal upgrade jaringan
menjadi Selasa pukul 01.30 waktu Tehran, yang merupakan waktu tidur malam hari,
AS tidak akan melewatkan pembaharuan informasi dari Iran. Selama AS dapat
menguasai informasi dengan teknologi canggih dan agen intelijen, juga
“memiliki” perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, Twitter, mesin
pencari Google, dan lain-lain, AS masih disebut sebagai penguasa tunggal. Karena
perang virtual dalam era informasi dan teknologi ini akan selalu dimenangkan
oleh siapa yang memiliki (akses) informasi paling besar. Peperangan dalam
perang virtual bukan persoalan senjata militer untuk mengalahkan musuh, tetapi
persoalan siapa yang menguasai informasi.
REFERENSI
BBC News Middle East. 2013. US-Iran Relations: A Brief Guide.
[online]. dalam
http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-24316661
(diakses pada 11
Januari
2014).
Bicchierai, Lorenzo. 2013. After Technical Glitch, Iran Blocks Facebook and Twitter
Again. [online].
dalam http://mashable.com/2013/09/17/iran-facebook-twitter
glitch/
(diakses pada 11 Januari 2014).
Carmichael, Lachlan. 2009. US asks Twitter to maintain service after Iran vote:
official. [online].
dalam http://www.google.com/hostednews/afp/article
/ALeqM5jxRTCxOmFcVVpTkAoeQsIDQK5z7g?hl=en
(diakses pada 13
Januari
2014)
Cohen, Noam. 2009. Twitter on the Barricades: Six Lessons Learned. [online]. dalam
http://www.nytimes.com/2009/06/21/weekinreview/21cohenweb.html?_r=0
(diakses
pada 11 Januari 2014).
Downing, John DH. 2004. “Empire war and antiwar media”.
dalam New Frontiers in
International
Communication Theory. Maryland: Rowman & Littlefield
Publishers,
Inc. pp. 137-152.
Evans, Mark. 2009. A Look at Twitter in Iran. [online]. dalam http://blog.sysomos.
com/2009/06/21/a-look-at-Twitter-in-iran/
(diakses pada 11 Januari 2014).
Grossman, Lev. 2009. Iran Protests: Twitter, the Medium of the Movement. [online].
dalam
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1905125,00.html
(diakses
pada 11 Januari 2014).
Jones, Steve. 2013. U.S. and Iran: Detente Possible? [online]. dalam http://us
foreignpolicy.about.com/od/alliesenemies/a/U-s-And-Iran-Detente
Possible.htm
(diakses pada 11 Januari 2014).
Milani, Abbas. 2013. The Green Movement. [online]. dalam http://iranprimer.usip.
org/resource/green-movement
(diakses pada 11 Januari 2014).
Morozov, Evgeny. 2009. Iran: Downside to the “Twitter Revolution”. University of
Pennsylvania
Press.
Munson, Lee. 2014. What Are The Main Differences Between
Hackers And Crackers?
[online].
dalam http://www.security-faqs.com/what-are-the-main-differences
between-hackers-and-crackers.html
(diakses pada 13 Januari 2014).
Musgrove, Mike. 2009. Twitter Is a Player In Iran's Drama. [online]. dalam
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/06/16/AR2009
061603391.html
(diakses pada 12 Januari 2014).
Rantapelkonen, Jari. 2006. “Virtuous Virtual
War”, dalam Edward Halpin, Philippa
Trevorrow,
David Webb, dan Steve Wright (eds.), Cyberwar, Netwar and the
Revolution
in Military Affairs, New York: Palgrave Macmillan, pp. 51-81.
Schleifer, Yigal. 2009. Why Iran’s Twitter Revolution is Unique. [online]. dalam
http://www.csmonitor.com/World/Middle-East/2009/0619/p06s08wome.html
(diakses
pada 11 Januari 2014).
The Washington Times. 2009. EDITORIAL: Iran’s Twitter Revolution.
[online].
dalam
http://www.washingtontimes.com/news/2009/jun/16/irans-Twitter
revolution/
(diakses pada 11 Januari 2014).