Saturday 26 July 2014

Matahari Terbenam

Oleh : Keiza Ayu Vriscilasari

Gili Terawangan, Lombok, 25 Juli 2014


Selalu terbit dan terbenam
Kehidupan memang selalu menawarkan aksi-reaksi, ataupun korelasi-oposisi.
Ketika terbitnya matahari selalu menjadi hal yang lebih menarik bagi kebanyakan orang,
entah mengapa matahari terbenam memberiku banyak pelajaran.

Matahari terbenam menyadarkanku pada pasang-surut kehidupan.
Itulah sebabnya jangan berhenti berusaha, bekerja, dan berdoa.
Kehidupan tidak akan selalu di atas, pun tidak selalu di bawah.
Ada masa-masa kau akan menuai, 
tetapi kau harus berjerih lelah menabur dahulu.
Bahkan ketika seluruh energimu telah terbenam hari ini, 
bukan berarti mimpi dan usahamu ikut terbenam pada hari ini, esok, dan seterusnya.

Matahari terbenam mengingatkanku bahwa tinggi hati akan membawa kehancuran.
Manusia bukanlah apapun selain ciptaan Sang Maha Kuasa,
Ia yang membentuk dan memberi nafas kehidupan.
Manusia memang diberi mandat untuk mengelola bumi dan segala isinya,
Manusia memang diizinkan menikmati hal-hal bersifat materi dan non-materi di dunia,
tetapi hal yang seringkali dilupakan 
bahwa segalanya milik Dia dan untuk Dia.
Surga ataupun neraka tidak akan menggolongkanmu pada barisan-barisan perbedaan status sosial, jumlah kekayaan, warna kulit, dan sebagainya.

Matahari terbenam memberiku gambaran akan harapan, 
Ia terbenam perlahan seiring dengan rutinitas 
yang terkadang membuat penat.
Ia terbenam perlahan diikuti datangnya malam yang memberiku ketenangan.
Ya, ketika malam datang, harapan itu menguat, 
seiring dengan Sang Pengharapan Sejati yang berbicara padaku…
memberi kekuatan untuk bersiap terbit kembali esok hari, apapun yang terjadi hari ini, 
apapun yang seakan membenamkanmu hari ini... 

Gili Terawangan, Lombok, 25 Juli 2014

Tuesday 8 July 2014

Sosial Media sebagai Media Perang: Penundaan Penutupan Sementara Akses ‘Twitter’ Oleh Amerika Serikat Pasca Pemilihan Umum di Iran Tahun 2009

Oleh : Keiza Ayu Vriscilasari
Era teknologi informasi dan komunikasi yang dimulai pada abad ke-20 memberikan suatu perkembangan pada kehidupan umat manusia. Kehidupan manusia pada era ini memiliki kelekatan dengan teknologi dan informasi yang memberikan pergeseran makna dalam banyak hal, salah satunya adalah tentang perang. Mary Kaldor (2000) terkenal dengan tesis “New War” yang mencirikan aktor baru dalam peperangan, sehingga perang bukan lagi hanya dilakukan oleh aktor negara (inter-nations) namun juga melihat aktor-aktor diluar negara. Downing (2004) menambahkan suatu penjelasan yang seolah melengkapi tesis Kaldor (2000), bahwa “New War” adalah kondisi saat ini, dimana terdapat perkembangan definisi ‘perang’ yang tidak lagi terbatas pada alat-alat militer, namun memasuki era perang informasi melalui media massa atau media sosial. Media massa maupun media sosial melalui internet, seakan menjadi aktor baru dalam hubungan internasional atas peranannya yang signifikan. Penelitian ini akan membahas bagaimana “perang” yang terjadi antara negara Amerika Serikat (AS) dan Iran pada revolusi di Iran tahun 2009, yang melihat suatu arti penting dari media sosial.
Melihat sekilas hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran secara historis, dapat dipahami bahwa kedua negara tersebut memiliki dinamika hubungan yang konfliktual dan penuh ketegangan sejak dahulu. Tahun 1979 merupakan tahun terjadinya revolusi Iran pertama dan dapat dikatakan sebagai momentum awal yang menghancurkan hubungan kedua negara. Hal tersebut terjadi akibat penyanderaan 52 warga AS yang bekerja di Kedutaan AS untuk Republik Iran di Tehran selama 444 hari (Jones 2013). Masyarakat Iran menyerang dan menghancurkan Kedutaan AS di Iran karena Presiden AS, Jimmy Carter, melindungi pemimpin Iran yakni Shah Reza Pahlevi ketika melarikan diri pada revolusi Iran. Pasca peristiwa yang berakhir tahun 1981 tersebut, AS mengambil kebijakan untuk menghapus semua hubungan diplomatik dengan Iran dan mengenakan sanksi ekonomi pada Iran (Jones 2013).
Pada tahun 1985-1986 terdapat suatu skandal antara AS dan Iran, yakni penjualan persenjataan dari AS kepada Iran sebagai timbal balik telah membebaskan orang sandera AS yang ditawan oleh Hezbollah di Libanon (BBC News 2013). Hasil dari penjualan tersebut, digunakan untuk mendanai gerakan anti-komunis di Nicaragua. Kemudian pada tahun 1988 juga terdapat suatu perisitiwa yang diakui AS sebagai suatu kesalahan atau ketidaksengajaan penembakan pesawat tempur AS bernama USS Vincennes pada pesawat Iran Air yang sedang melakukan penerbangan. Dari peristiwa ini, 290 orang yang mayoritas adalah warga Iran meninggal dunia (BBC News 2013). Memasuki abad ke-21, tepatnya pada tahun 2002, terdapat suatu pernyataan dari Presiden AS, George Bush, yang menimbulkan sakit hati bagi masyarakat Iran dan memperkeruh hubungan yang ada. Dalam suatu pidato, Presiden George Bush menyatakan bahwa Iran adalah “axis of evil” bersama dengan Irak dan Korea Utara (BBC News 2013). Diluar persoalan yang telah dijabarkan di atas, terdapat juga masalah nuklir yang dikembangkan Iran, dan hal-hal lain yang mengindikasikan bahwa hubungan kedua negara telah penuh dengan konflik dan permusuhan sejak dahulu.
Revolusi Iran Pasca Pemilihan Umum Tahun 2009
Memasuki tahun 2009, sejarah mencatat terjadinya revolusi (kedua) di Iran pasca pemilihan umum yang diselenggarakan pada hari Jumat, 12 Juni 2009. Masyarakat Iran melakukan proses besar-besaran kepada pemerintah akibat Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang terpilih kembali dan dicurigai terdapat praktik kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah. Presiden Ahmadinejad telah memerintah di Iran sejak tahun 2005. Sifat kepemimpinan khas otoriter Presiden Ahmadinejad adalah alasan utama mengapa masyarakat Iran lebih memilih kandidat oposisi Mir Hossein Mousavi, yang merupakan mantan Perdana Menteri Iran dan memiliki peran penting pada Perang Iran-Irak tahun 1980-1988. Mousavi absen dari dunia perpolitikan dan kembali pada dunia seni sejak dibuat amandemen untuk menghapus posisi Perdana Menteri, diganti dengan lembaga eksekutif yakni Presiden (Milani 2013). Kharisma yang dinilai kurang dimata publik karena telah absen dari dunia politik cukup lama tetap membuat Mousavi lebih unggul secara nilai dibanding Ahmadinejad (Milani 2013). Namun kenyataan menghasilkan perolehan suara 66% bagi Ahmadinejad dan 33% bagi Mousavi (Evans 2009).
Dalam gerakan revolusi yang terjadi di Iran tersebut, terdapat fenomena yang menunjukkan peran penting dari media sosial sebagai alat penyebaran informasi dan komunikasi di Iran. Namun sebelum membahas keterkaitan revolusi Iran dengan media sosial, berikut dibahas terlebih dahulu bagaimana kondisi pengguna dan sistem pengamanan internet di Iran.
Terdapat data yang menunjukkan bahwa Iran merupakan negara dengan masyarakat melek-komputer yang tinggi, juga jumlah blogger dan hacker yang besar (The Washington Times 2009). Penelitian lain datang Harvard University's Berkman Center for Internet and Society in Cambridge, Mass, yang mengatakan sebagai berikut:
“This is a country where you have tens of thousands of bloggers, and these bloggers have been in a situation where the Internet has been filtered since 2004. Anyone worth their salt knows how to find an open proxy [to get around government firewalls and filters], knows how to work around censorship, The Iranian government, by filtering the Internet for so long, has actually trained a cadre of people who really know who to get around censorship” (Zuckerman 2009).
Hal yang perlu ditekankan dari pernyataan tersebut adalah Iran merupakan negara yang melek dengan kehidupan teknologi dan informasi. Pengguna internet dalam blog, Facebook, Twitter, dan lainnya, ditambah dengan jumlah hacker[1] dan cracker[2] yang besar menunjukkan bahwa masyarakat Iran menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan maupun mendapatkan informasi. Namun pemerintah telah memberlakukan sistem penyaringan terhadap jaringan internet sejak tahun 2004, sehingga masyarakat tidak dengan bebas dan mudah menerima informasi yang datang dari situs-situs luar. Sistem penyaringan internet oleh pemerintah ini tidak lantas membuat masyarakat Iran terkurung, karena semakin mendorong kemunculan hacker maupun cracker yang melakukan pembobolan terhadap situs-situs yang diproteksi pemerintah.
Jejaring Sosial ‘Twitter’ dan Revolusi Iran 2009
Berdasarkan data yang diambil dari Sysomos, sebuah situs penyedia global yang melakukan pengawasan pada sosial media, berikut adalah data yang menunjukkan tingkat pengguna Twitter di Iran dalam revolusi Iran, Juni 2009:
Gambar 1. 1
Tingkat Pengguna Twitter di Iran
                                
                  
          Sumber : blog.sysomos.com 2009

Berdasarkan data tersebut, tampak suatu kenaikan pengguna Twitter di Iran yang cukup signifikan pada Maret 2009 dan Juni 2009. Jumlah total pengguna Twitter di Iran pada Juni 2009 adalah 19.235, yang 93% berlokasi di Tehran (ibukota Iran), 0.94% di Shiraz, dan 0.83% di Mashhad (Evans 2009). Jumlah sebesar 19.235 tersebut hanyalah 0.027% dari total populasi di Iran saat itu, bahkan laporan dari Direktur Al-Jazeera mengatakan hanya 60 akun Twitter yang aktif di Teheran ketika pihak penguasa Iran memberangus jaringan komunikasi online (Morozov 2009).

Kemudian data merujuk pada dua tanggal penting: 11 Juni 2009 yang merupakan satu hari sebelum pemilihan umum berlangsung dan tanggal 19 Juni 2009 yang menunjukkan mayoritas diskusi mengenai pasca pemilihan umum. Berikut adalah data yang menunjukkan apa yang terjadi di dalam Twitter pada dua tanggal tersebut:
Gambar 1. 2
Tingkat Persentase ‘Tweets’ Sehari Sebelum Pemilihan Umum Iran,
Tanggal 11 Juni 2009
                                   
Sumber : blog.sysomos.com 2009


Gambar 1. 3
Tingkat Persentase ‘Tweets’ Seminggu Setelah Pemilihan Umum Iran,
Tanggal 19 Juni 2009
                                         
           Sumber : blog.sysomos.com 2009            
                                       
Berdasarkan dua data yang telah ditampilkan tersebut, terdapat perbedaan signifikan mengenai lokasi ‘tweets’ yang ditelusuri dengan kata kunci “Iran Election”. Sehari sebelum pemilihan umum dimulai, 51.3% ‘tweets’ berasal dari Iran, sedangkan pada tanggal 19 Juni 2009, ‘tweets’ dari Iran hanya berjumlah sekitar 23.8%, kemudian 40.4% justru berasal dari luar Iran. Hal ini mempertanyakan mengapa terjadi penurunan yang cukup signifikan. Evans (2009) melakukan penelitian dan menganalisis data tersebut dengan menjelaskan, “The lower percentage of Tweets from Iran could also could be due to reports the Iranian government is blocking access to the Internet and Twitter.
Pemerintah Iran memang telah melakukan sistem penyaringan pada internet sejak 2004, namun tidak memblok media sosial seperti Facebook dan Twitter. Namun pasca pemilihan umum yang menghasilkan kemenangan kembali Mahmoud Ahmadinejad, tepatnya hari Selasa 13 Juni 2009, pemerintah Iran melakukan penutupan akses terhadap Facebook dan Twitter. Hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah aliran penyebaran informasi pada publik mengenai apa yang terjadi di Iran. Pemerintah Iran berargumen bahwa Facebook dan Twitter merupakan alat berbahaya untuk mengorganisir pergerakan demonstrasi anti-pemerintah (Bicchierai 2013). Sejak saat itu, masyarakat Iran hanya dapat mengakses jaringan media sosial menggunakan perangkat lunak VPN untuk terkoneksi dengan komputer di luar negara (Bicchierai 2013). Masyarakat Iran juga dapat mengakses Twitter tidak melalui situs resmi Twitter, seperti www.tweetmeme.com yang saat ini sudah ditutup.
Sebelum akhirnya ditutup oleh pemerintah Iran, Twitter memiliki fungsi yang penting di Iran karena pemerintah melakukan restriksi ketat terhadap akses jurnalis atau wartawan yang memasuki negara Iran. Sehingga orang-orang yang melakukan protes terhadap hasil pemilihan umum menggunakan Twitter sebagai sistem komunikasi yang menghubungkan langsung dengan publik dan jurnalis, dengan cara melakukan posting status berita, video, dan foto-foto terkait dengan apa yang terjadi pada Juni 2009 (Cohen 2009). Twitter dapat mempersatukan setiap orang yang memiliki kepentingan atau minat sama dengan cara memberi hashtag. Dalam kasus revolusi Iran, hashtag yang digunakan adalah #IranElection, sehingga siapapun pengguna Twitter yang ingin mengetahui situasi yang terjadi, dapat menemukan informasi dengan mudah dan cepat.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam Penguatan Peran Media Sosial di Iran
Masih berkaitan dengan fenomena penggunaan Twitter pada revolusi Iran, Amerika Serikat merupakan aktor penting yang berperan didalamnya. Perusahaan Twitter telah merencanakan untuk menutup akses Twitter pada hari Senin 15 Juni 2009, dalam rangka melakukan fungsi pemeliharaan servis internal. Seperti diketahui sebelumnya bahwa pemilihan umum berlangsung pada hari Jumat, 12 Juni 2009. Jadi, jadwal penutupan jaringan Twitter yang direncanakan pada tengah malam merupakan tiga hari pasca pemilihan umum. Informasi jadwal penutupan sementara akses Twitter ini ternyata telah sampai dengan cepat pada pemerintah AS karena Twitter mengirimkan pesan kepada seluruh pemiliki akun.
Biasanya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak pernah memiliki kepentingan dalam proses pemeliharaan (maintenance) yang dilakukan oleh situs-situs atau jejaring sosial. Namun dalam kasus yang terjadi di Iran ini, mereka langsung menghubungi perusahaan Twitter dan meminta untuk menunda proses upgrade jaringan yang telah dijadwalkan pada Senin malam (Grossman 2009). Dalam suatu wawancara kepada staf Washington Post bernama Mike Musgrove, senior dari Departemen Luar Negeri AS mengatakan, One of the areas where people are able to get out the word is through Twitter, they announced they were going to shut down their system for maintenance and we asked them not to” (Musgrove 2009). Instruksi dari Departemen Luar Negeri AS ini langsung dilaksanakan oleh perusahaan Twitter yang menunda proses upgrade jaringan menjadi hari Selasa, pukul 14.00 waktu AS atau pukul 01.30 waktu Tehran.
Kebijakan yang dikeluarkan AS tersebut menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa dalam hal ini AS memberi instruksi kepada perusahaan Twitter untuk menunda proses upgrade jaringan padahal jumlah pengguna Twitter di Iran saat itu hanya 0.027% dari total populasi? Kepentingan apa yang berusaha didapatkan oleh AS melalui peranan media sosial Twitter? Robert Gibbs, juru bicara Gedung Putih, mengatakan bahwa kebebasan media dan alat komunikasi merupakan hal yang penting. Kemudian PJ Crowley, asisten Menteri Luar Negeri juga menambahkan bahwa AS menjunjung kebebasan berekspresi sehingga informasi harus digunakan sebagai cara untuk mempromosikan kebebasan berekspresi (MacAskill 2009). Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh elite-elite AS tersebut, alasan tentang kebebasan berekspresi menjadi dasar yang dijunjung atas tindakan instruksi untuk menunda penutupan jaringan Twitter.
Namun, dibalik segala alasan yang telah menjadi ciri khas AS mengenai kebebasan media, kebebasan berekspresi, dan lainnya, terdapat dua gambaran sekaligus pertanyaan sebagai berikut: Pertama, tindakan AS dalam memberi instruksi kepada perusahaan Twitter yang dilakukan dengan cepat tersebut memberi suatu gambaran urgensi bahwa Twitter memang memiliki peran signifikan dalam penyebaran informasi. Kedua, tindakan yang dilakukan AS ini juga memberi penjelasan bahwa AS memiliki kepentingan nasional di Iran yang membuat AS selalu berusaha mengumpulkan informasi dari negara target (Iran).
Suatu gambaran urgensi bahwa Twitter memiliki peran penting pasca pemilihan umum 12 Juni 2009, dijelaskan lebih lanjut oleh Zuckerman (dalam Schleifer 2009) bahwa media sosial pada kasus Iran ini memiliki manfaat besar untuk membuat perlawanan lokal menjadi perlawanan global. Tidak hanya itu, namun Twitter membuat manusia dapat merasakan solidaritas secara global, selalu menaruh perhatian pada apa yang sedang terjadi, dan memberikan sense of involvement pada peristiwa yang sedang terjadi tersebut (Zuckerman dalam Schleifer 2009).

Gambar 1. 4
Link Terpopuler di Twitter pada 15-19 Juni 2009: Iran
                                 
                                                             Sumber : PEJ New Media Index 2009

Pernyataan dari Zuckerman bahwa Twitter telah membuat suatu isu perlawanan lokal menjadi isu perlawanan global terjawab jelas pada Gambar 1. 4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa link terpopuler yang di-posting di Twitter pada tanggal 15-19 Juni 2009, yakni berjumlah 98% adalah mengenai Iran. Sekalipun total pengguna Twitter di Iran hanya 0.027% dari total populasi, tidak mengindikasikan bahwa Twitter tidak berpengaruh dalam revolusi Iran. Sebaliknya, isu mengenai Iran menyebar dengan cepat dan menimbulkan perhatian yang besar dari warga negara Iran maupun warga negara di luar Iran.

Informasi, Teknologi Informasi, dan Perang
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai media sosial Twitter yang menjadi media “perang” antara Amerika Serikat dengan Iran pada  revolusi Iran 2009, berikut dijelaskan dua teori. Teori pertama diambil dari James Der Derian (2001) yang menjelaskan tentang perang virtual dengan etik (virtuous virtual war) dan teori kedua diambil dari Paul Virilio mengenai (1988) teori kecepatan.
Teori Virtuous Virtual War – Der Derian
Teori pertama, Der Derian (2001 dalam Rantapelkonen 2006, 52) berasumsi bahwa perang yang berada dalam realitas virtual juga membentuk model perang riil. Virtuous war dikatakan sebagai perang yang memadukan unsur kapabilitas teknis dan etik (baik vs buruk) untuk mengancam dengan kekerasan, dan bila perlu, untuk mengaktualisasi kekerasan dalam jarak tertentu (Der Derian 2001 dalam Rantapelkonen 2006, 52). Sehingga dalam hal ini, Der Derian (2001) menekankan bahwa jaringan-jaringan virtual yang tercipta dalam masyarakat melalui teknologi informasi (internet) akan membawa masyarakat pada perang virtual yang bersifat virtuous.
Berkaitan dengan kasus di atas, mengkaji dalam lingkup domestik, jumlah pengguna Twitter di Iran hanya berjumlah 19.235 orang atau 0.027% dari total populasi. Namun mereka hidup dalam jaringan-jaringan virtual yang terkoneksi dengan internet, sehingga terciptalah suatu perang virtual antara masyarakat yang pro dengan pemerintahan kembali Ahmadinejad dengan masyarakat yang pro dengan pemerintahan Mousavi. Perang di dalam blog, Facebook, maupun Twitter antara mereka yang pro maupun oposisi dengan pemerintah menciptakan “pengikut” virtual dengan sendirinya. Sehingga asumsi Der Derian (2001 dalam Rantapelkonen 2006) yang menjelaskan bahwa perang dalam realitas virtual juga membentuk model perang riil dapat terlihat dalam bagaimana masyarakat Iran pada akhirnya melakukan protes datau perang secara virtual dan riil. Mereka berperang dalam internet dengan argumentasi dan berperang secara riil dengan senjata terhadap kaum oposisi.
Kemudian dalam hubungan AS dan Iran, upaya AS menghentikan jadwal upgrade jaringan perusahaan Twitter merupakan perang virtual antara kedua negara dengan Twitter sebagai perantara. Tindakan AS tersebut direspon cepat oleh pemerintah Iran dengan mem-blok situs-situs yang dinilai berbahaya (termasuk Twitter) dalam penyebaran informasi oleh masyarakat Iran. Hubungan AS-Iran yang konfliktual sejak lama, sering berperang secara riil dengan senjata militer, dan lainnya, kini seolah terjadi juga dalam perang virtual.
Tidak hanya pada kalangan elite atau pembuat kebijakan yang menggunakan wewenang untuk membuka jaringan Twitter (pemerintah AS kepada masyarakat Iran) dan menutup jaringan Twitter (pemerintah Iran kepada masyarakat Iran). Masyarakat, seperti peneliti, penstudi dari luar Iran, terutama dari AS, yang mendapat berbagai informasi dari internet mengenai apa yang terjadi di Iran, juga berlomba untuk menulis dan mempublikasikan pada khalayak. Publikasi revolusi Iran 2009 oleh peneliti, penstudi, organisasi non-pemerintah, maupun pemerintah AS menyebabkan bermunculan opini secara internasional yang secara otomatis akan tergolong dalam dua sisi: AS atau Iran. Pada akhirnya, masyarakat AS dan Iran, juga masyarakat internasional yang telah terkoneksi dalam jaringan-jaringan virtual tersebut menciptakan perang virtual bersifat virtuous.
Teori Kecepatan – Paul Virilio
Teori kedua, Virilio (1988 dalam Rantapelkonen 2006, 53) menjelaskan bahwa akselerasi kecepatan dalam hal teknologi dan informasi modern seringkali kehilangan kontrol, hanya mengakselerasi kejadian tetapi mengabaikan konten dari kejadian itu sendiri. Dalam teori kecepatan tersebut, Virilio (1988 dalam Rantapelkonen 2006, 53) menekankan ‘konsep gambar’ sebagai berikut:
“... from now on everything passes through the image. The image has priority over the thing, the object, and sometimes even the physically present being. Just as real time, instantaneousness, has priority over space. Therefore the image is invasive and ubiquitous. Its role is not in the domain of art, the military domain or the technical domain, it is to be everywhere, to be reality.”

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa gambar (dan kata-kata) memiliki peran penting karena dapat ditemukan dimanapun dan dapat menceritakan peristiwa lebih riil dibandingkan dengan peristiwa itu sendiri. Virilio (1988 dalam Rantapelkonen 2006, 53) menambahkan bahwa  dalam teknologi baru, realitas virtual memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan realitas aktual. Namun penstudi lain, Douglas Kellner (2000 dalam Rantapelkonen 2006) mengkritik asumsi Virolio (1998) dengan mengatakan bahwa ketika gambar dengan cepat menyebar dan dipercaya masyarakat, kebenaran akan bersifat relatif, karena tidak hanya menciptakan persepsi tetapi juga mispersepsi.
Twitter sebagai media sosial yang dapat mem-posting berita dalam 140 karakter, juga link website, mengunggah foto maupun video, seolah menggantikan fungsi media massa seperti koran, radio, maupun televisi. Twitter menjadi diminati karena gambar-gambar yang diunggah oleh para demonstran di Tehran dapat menjelaskan kejadian secara riil dan dapat dibaca seluruh pengguna Twitter di dunia hanya dalam hitungan detik. Sesuai dengan Virilio (1988), bahwa teori kecepatan memiliki relasi dengan konsep gambar (image), sekalipun konten dari peristiwa tersebut tidak ada yang menjamin apakah benar adanya ataukah rekayasa dari orang yang mengunggah gambar atau tulisan. Telah dibahas sebelumnya bahwa jumlah link terpopuler di Twitter sebesar 98% pada 15-19 Juni 2009 dari data yang diambil oleh kumpulan jurnalis, PEJ New Media Index, menggambarkan bukti riil bahwa jumlah pengguna Twiter di Iran tidak berbanding lurus dengan tingkat penyebaran informasi. Teknologi dan informasi memang memiliki ‘kecepatan’ yang tinggi untuk tersebar, terkhusus Twitter yang memiliki fungsi re-tweet (RT) atau mem-posting ulang apa yang sudah dipublikasikan orang lain.
Kembali pada tindakan AS dan perusahaan Twitter, upaya AS untuk menginstruksikan penundaan upgrade jaringan Twitter dengan waktu penundaan tidak lebih dari 20 jam tersebut tentu memiliki dampak yang besar. Tidak perlu dalam hitungan jam, dalam hitungan detik saja, Twitter sudah dapat menyebarkan ribuan informasi yang dapat diakses oleh seluruh pengguna Twitter di dunia. Sehingga bila terdapat asumsi yang menanyakan signifikansi efek dari penundaan upgrade jaringan Twitter yang kurang dari 20 jam tersebut, jawaban yang diberikan adalah satu: sangat signifikan.
Hal tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa Twitter adalah satu-satunya alat komunikasi yang dapat digunakan masyarakat Iran karena pemerintah menutup semua akses komunikasi. Pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada reporter, sebagai berikut: Twitter service was all the more important because the Iranian government had shut down other websites, cell phones, and newspapers” (Carmichael 2009). Tidak ada alat komunikasi lain untuk masyarakat Iran menyampaikan pada “pihak luar” mengenai apa yang terjadi, dalam rangka meminta pertolongan ataupun dukungan internasional. Sehingga apa yang dilakukan oleh AS kepada perusahaan Twitter adalah kebijakan yang tepat sasaran.
Kesimpulan
Peran signifikan media sosial pada era teknologi komunikasi dan informasi bukan lagi hal yang patut dipertanyakan. Media sosial melalui internet memiliki fungsi komunikasi dan penyebaran informasi dengan cepat, murah, dapat dilakukan dimana saja, dan kapan saja. Dalam kasus pasca pemilihan umum di Iran atau yang dikenal dengan revolusi Iran 2009, Twitter sebagai media sosial memiliki peran signifikan yang mendorong persebaran informasi. Sehingga Twitter tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu mengorganisir pergerakan revolusi dalam masyarakat Iran, namun Twitter juga telah menyebarkan pesan kepada dunia bahwa Iran dipimpin oleh diktator Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang membawa penderitaan masyarakat. Sependapat dengan Kellner (2000) yang mengkritik Virolio (1988) bahwa yang terjadi bukan hanya tentang ‘kecepatan’, tetapi kebenaran yang menjadi relatif, segala pesan yang tersebar akan membentuk persepsi para pembaca, termasuk mispersepsi. Sehingga segala pesan yang menyebar di Twitter mengenai revolusi Iran adalah konstruksi yang tertanam pada masing-masing pembaca.

Selain itu Twitter juga memudahkan negara tandingan, Amerika Serikat, dalam menggalang segala informasi yang terkait dengan Iran. Dengan informasi yang berhasil dihimpun tersebut, AS dapat mengetahui kondisi Iran dalam segala kekuatan dan kelemahan yang sedang dimiliki. Seperti diketahui bahwa hubungan konfliktual antara AS-Iran sejak lama, membuat kedua negara selalu bersaing untuk memenangkan pertarungan. Kepentingan yang berusaha dicapai AS, terkhusus kepentingan AS terhadap nuklir Iran, akan menjadi lebih mudah ketika ada media sosial Twitter yang berfungsi sebagai media “perang”.
Penulis berpendapat bahwa total pemilik akun di Iran yang hanya berjumlah 0.027% dari total populasi dan sistem filter internet yang diberlakukan pemerintah Iran sejak 2004, tidak mengindikasikan bahwa peran Twitter di negara ini tidak signifikan. Dengan kehebatan teknologi media sosial Twitter yang dapat menyebarkan berita dalam detik, menggolongkan pengguna pada berita yang dipilih dengan hashtag, dan dapat mengunggah foto maupun video, membuat Twitter dapat berperan dengan signifikan. Kemudian, terkait dengan tindakan AS yang menginstruksikan perusahaan Twitter untuk menunda jadwal upgrade dan pemeliharaan jaringan, AS nampaknya telah melakukan tindakan yang cepat dan tepat sasaran. Karena dalam satu minggu pasca pemilihan umum Iran 12 Juni 2009, masyarakat Iran sedang bergejolak, melakukan protes besar-besaran. Dengan ditundanya jadwal upgrade jaringan menjadi Selasa pukul 01.30 waktu Tehran, yang merupakan waktu tidur malam hari, AS tidak akan melewatkan pembaharuan informasi dari Iran. Selama AS dapat menguasai informasi dengan teknologi canggih dan agen intelijen, juga “memiliki” perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, Twitter, mesin pencari Google, dan lain-lain, AS masih disebut sebagai penguasa tunggal. Karena perang virtual dalam era informasi dan teknologi ini akan selalu dimenangkan oleh siapa yang memiliki (akses) informasi paling besar. Peperangan dalam perang virtual bukan persoalan senjata militer untuk mengalahkan musuh, tetapi persoalan siapa yang menguasai informasi.

REFERENSI

BBC News Middle East. 2013. US-Iran Relations: A Brief Guide. [online]. dalam
            http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-24316661 (diakses pada 11
            Januari 2014).
Bicchierai, Lorenzo. 2013. After Technical Glitch, Iran Blocks Facebook and Twitter
            Again
. [online]. dalam http://mashable.com/2013/09/17/iran-facebook-twitter
            glitch/ (diakses pada 11 Januari 2014).
Carmichael, Lachlan. 2009. US asks Twitter to maintain service after Iran vote:
            official
. [online]. dalam http://www.google.com/hostednews/afp/article
            /ALeqM5jxRTCxOmFcVVpTkAoeQsIDQK5z7g?hl=en (diakses pada 13
            Januari 2014)
Cohen, Noam. 2009. Twitter on the Barricades: Six Lessons Learned. [online]. dalam
            http://www.nytimes.com/2009/06/21/weekinreview/21cohenweb.html?_r=0
            (diakses pada 11 Januari 2014).
Downing, John DH. 2004. “Empire war and antiwar media”. dalam New Frontiers in
            International Communication Theory
. Maryland: Rowman & Littlefield
            Publishers, Inc. pp. 137-152.
Evans, Mark. 2009. A Look at Twitter in Iran. [online]. dalam http://blog.sysomos.
            com/2009/06/21/a-look-at-Twitter-in-iran/ (diakses pada 11 Januari 2014).
Grossman, Lev. 2009. Iran Protests: Twitter, the Medium of the Movement. [online].
            dalam http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1905125,00.html
            (diakses pada 11 Januari 2014).
Jones, Steve. 2013. U.S. and Iran: Detente Possible? [online]. dalam http://us
            foreignpolicy.about.com/od/alliesenemies/a/U-s-And-Iran-Detente
            Possible.htm (diakses pada 11 Januari 2014).
Milani, Abbas. 2013. The Green Movement. [online]. dalam http://iranprimer.usip.
            org/resource/green-movement (diakses pada 11 Januari 2014).
Morozov, Evgeny. 2009. Iran: Downside to the “Twitter Revolution”. University of
            Pennsylvania Press.
Munson, Lee. 2014. What Are The Main Differences Between Hackers And Crackers?
            [online]. dalam http://www.security-faqs.com/what-are-the-main-differences
            between-hackers-and-crackers.html (diakses pada 13 Januari 2014).
Musgrove, Mike. 2009. Twitter Is a Player In Iran's Drama. [online]. dalam
            http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/06/16/AR2009
            061603391.html (diakses pada 12 Januari 2014).
Rantapelkonen, Jari. 2006. “Virtuous Virtual War”, dalam Edward Halpin, Philippa
            Trevorrow, David Webb, dan Steve Wright (eds.), Cyberwar, Netwar and the
            Revolution in Military Affairs
, New York: Palgrave Macmillan, pp. 51-81.
Schleifer, Yigal. 2009. Why Iran’s Twitter Revolution is Unique. [online]. dalam
            http://www.csmonitor.com/World/Middle-East/2009/0619/p06s08wome.html
            (diakses pada 11 Januari 2014).
The Washington Times. 2009. EDITORIAL: Iran’s Twitter Revolution. [online].
            dalam http://www.washingtontimes.com/news/2009/jun/16/irans-Twitter
            revolution/ (diakses pada 11 Januari 2014).





[1] Hacker dapat disebut sebagai ‘topi putih’, karena dikerjakan oleh kaum professional yang dibayar oleh perusahaan. Mereka bukanlah orang yang menggunakan sistem secara illegal. Hacker memiliki tujuan untuk membongkar sistem, memperbaiki kecacatan di dalam sistem, dan meningkatkan keamanan (Munson 2014).
[2] Cracker dapat disebut sebagai ‘topi hitam’ karena mereka adalah orang-orang yang membongkar sistem secara illegal untuk tujuan personal tertentu atau merusak. Seorang cracker memiliki kemampuan yang cukup untuk menciptakan perangkat lunak (software) sendiri yang telah mereka unduh dari situs-situs tidak bereputasi baik (Munson 2014).