Thursday 3 July 2014

Panggung Pentas

Oleh : Keiza Ayu Vriscilasari

“Naik mba… naik mba… Slipi, Slipi, Slipi Petamburan…”, teriak kernet bus bernomor 138.
Hari itu, aku dan saudara sepupu berniat pergi ke salah satu perusahaan di Jalan Palmerah. 
Polusi tidak akan menyurutkan semangat kami untuk terus melangkah mencari pekerjaan.
Naik bus adalah hal yang menyenangkan, karena selain ber-AC, perjalanan jauh yang ditempuh dengan bus bisa membuat mata tertidur sebentar. Sebagai catatan, tidur, adalah hal yang penting di Jakarta. Karena hari-harimu akan terlalu sibuk setelah bangun jam 5 pagi dari rumah, rutinitas berjalan begitu cepat, otak dipaksa terus berkompetisi karena tuntutan tinggi, dan pada akhirnya, jalanan adalah rumah yang memberimu ruang untuk beristirahat.
Ada satu hal menarik di dalam bus, yakni panggung pentas.

Seorang pengamen perempuan berumur sekitar 30 tahun, rambut dikucir kuda, memutar tape recorder di dalam tasnya dan menyanyikan lagu dangdut bertemakan patah hati dengan wajah lesu.
Kira-kira begini sepenggal liriknya “Hidupku… tersiksa karena mencintaimu… Kau tak pernah pedulikan perasaanku…”
Jujur, aku berharap kapan pengamen ini selesai nyanyi. Bukannya suaranya tidak merdu, tetapi lagu yang dilantunkan tampaknya merusak mood semangat pagi hari.

Lantas datang pengamen selanjutnya, melagukan lagu bernuansa Islam, dengan judul "5 Perkara”.
Okay lah, it’s better than before. Suaranya cukup merdu dan dia melantunkan lagu-lagu bertema kekuatan dan ucapan syukur. Dibandingkan pengamen sebelumnya, tampaknya orang-orang di bus lebih tergerak untuk memberikan uang kepada bapak ini. Ternyata lagu mempengaruhi hati seseorang untuk memberi.

Tidak lama kemudian, dengan tertatih-tatih, seorang bapak tua tuna netra masuk ke dalam bus. Suaranya tidak terlalu keras tetapi aku bisa mendengar dengan jelas apa yang disampaikan. Bapak ini tidak mengamen, tidak berjualan, tidak berpuisi seperti yang selama ini ada di dalam bus.
Dengan ekspresi tanpa senyuman, sang bapak yang menggunakan hem berwarna merah menyampaikan kemarahan pada pemerintah. 
Sang bapak berkata, “Saya sudah menulis surat kepada pemerintah tetapi tidak ada balasan. Saya sangat kecewa terhadap para pejabat yang hanya memikirkan dirinya sendiri, orang-orang yang duduk di DPR, DPRD, MPR, semuanya tidak peduli dengan nasib saya. Saya hanya ingin berjuang menyekolahkan anak saya. Mohon sedekahnya Bapak, Ibu… tolong ya, tolong saya, uang ini akan sangat bermanfaat untuk anak saya supaya bisa sekolah.”
Baiklah, entah kenapa tidak terbersit sedikitpun rasa simpati di dalam hatiku. Sebaliknya, aku tidak menaruh “respect" dengan sikap Bapak ini. Mungkin yang dikatakan tidak mengada-ada, tetapi caranya membuatku risih.

“Mari, mari dibeli bolpoin 8 warna… Sebentar lagi lebaran, bisa dibeli untuk oleh-oleh ponakan, saudara, atau yang lain”, kata si penjual. Dalam hati bergumam, “Serius, bolpoin 8 warna? segede apa tuh…”
Bolpoin pun dibagi-bagikan oleh si penjual. Bila berminat tinggal membayar, bila tidak tinggal dikembalikan.
Seumur hidup baru tahu ada bolpoin 8 warna. Lucu juga, jadi teringat akan adikku yang masih SD. Seandainya dia ada disini, di kota ini, pasti aku akan membelikan bolpoin ini untuknya.
Penjual bolpoin ini pun berhasil mengingatkanku pada keluguan dan senyuman manja adik perempuan ku.

“Selamat siang bapak-bapak, ibu-ibu, atau kakak… Ini ada penggaris ajaib. Tinggal diputar-putar seperti ini *menggambar di kertas* akan menghasilkan gambar yang sangat bagus. Bapak, ibu, kakak bisa berkreasi apa saja sesuai keinginan. Hanya diputar-putar seperti ini, gambar akan terbentuk dengan sendirinya *masih memeragakan*, cukup 5 ribu rupiah. Mohon maaf, penggaris tidak akan saya bagikan, tetapi saya akan berjalan, kalau bapak/ibu/kakak berminat, bisa langsung panggil saya.”
Aku berkata dalam hati, “Perasaan, ini penggaris biasa aja deh, itu kan emang penggaris buat menggambar. Sudah pernah lihat sejak zaman aku masih TK"
(mas penjual penggaris ajaib ini pun berjalan di lorong bus dan saat tepat berada di sebelahku………..)
“Mbak, mau beli penggaris ajaibnya? ini bisa juga dibuat menggambar hiasan di tembok lho, supaya BAPAKNYA MBAK MAKIN SAYANG”
“Oh nggak, mas.. makasih…”
Setelah penjual pergi, saudaraku berkata sambil menahan ketawa, 
“Boro-boro makin disayang, yang ada malah diomelin kelleeess kalo corat-coret di tembok. Emangnya anak TK...”
Aku yang tadinya sudah hampir tertidur pun akhirnya meneteskan air mata karena tertawa terbahak-bahak.

Ya, begitulah, setiap detail perjalananmu adalah susunan warna pelangi yang kau tenun.
Aku merasakan bahwa tertawa lepas, meskipun sejenak saja, terasa begitu berarti di dalam hari yang menurutku melelahkan dan konyol ini.
Tetaplah peka untuk melihat, mendengar, merasakan...

No comments:

Post a Comment