Friday 17 June 2011

Kebijakan "Isolasionisme" Terhadap Kasus Israel-Palestina

          Kebijakan luar negeri “isolasionisme” adalah salah satu dari kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan juga diadopsi oleh beberapa negara yang tidak ingin menjadi bagian dari salah satu aliansi, membuka hubungan lintas batas negara, dan terlebih berkomitmen ekonomi dengan negara lain. Kata “isolasionisme” sendiri dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk memisahkan diri dari pihak lain (http://artikata.com/arti-331122-isolasionisme.html). Isolasionalisme memiliki dua prinsip, yaitu proteksionisme dan non-intervensi. Proteksionisme secara harafiah dapat dijelaskan sebagai bentuk upaya untuk melindungi diri sendiri baik dari segala bentuk pengaruh maupun ancaman pihak lain. Sedangkan non-intervensi, secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak mencampuri urusan pihak lain. Politik luar negeri isolasionisme bertujuan untuk mengutamakan pendistribusian segala sumber daya ke tiap-tiap daerah di negara tersebut dan untuk menjaga kedamaian dan hubungan baik dengan negara lain
            Secara historisis, kemunculan isolasionisme di Amerika diawali pada abad ke-17, yakni ketika berbondong-bondong peziarah dari Eropa (terutama dari Inggris), menemukan benua baru yang dianggapnya “new homeland to make everythings better”. Benua Amerika yang mereka temukan ini dianggap dapat menjadi tempat “pelarian” dari kerusuhan maupun konflik-konflik di negaranya, seperti : krisis ekonomi, perang, pembantaian karena agama, dan sebagainya. Dari sinilah ada sebuah tindakan “privatisasi” atau pengurungan diri dari pihak (negara) lain, seperti sikap Amerika pada Perang Dunia I yang sama sekali tidak bergabung pada aliansi.
            Kasus Israel-Palestina merupakan permasalahan yang komplek dan beruntut sejak akhir abad ke-19. Permasalahan berawal pada tanggal 2 November 1917, ketika Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina.
Negara-negara Arab dan tentunya Palestina, mengadakan perlawanan atas keputusan Deklarasi Balfour tersebut. Permasalahan tersebut ditambah dengan penguasaan Israel yang mendapat bagian lebih dari lima puluh persen wilayah di Palestina, yang dianggap melanggar kesepakatan dalam Pembagian Wilayah PBB tahun 1947. Konflik terus berlanjut, Israel menyatakan sepihak akan pembentukan Negara Israel tahun 1948 yang memunculkan perlawanan dari negara-negara di sekitar wilayahnya,
munculnya blokade-blokade dari pihak Israel atas Palestina dengan tujuan penguasaan wilayah, revolusi rakyat Palestina, masalah Tepi Barat, jalur Gaza, dan konflik-konflik lainnya yang berujung tanpa akhir, hingga kasus terbaru yang mencuat adalah Mavi Marmara. 13 September 1993, telah disepakati Perjanjian Oslo, dimana Amerika sebagai mediator menjadi penggagas perdamaian diantara Palestina-Israel, dan kedua belah pihak mengakui eksistensi dan kedaulatan masing-masing. Dalam pertikaian-pertikaian di Timur Tengah, terlebih kasus Israel-Palestina, Amerika tampak selalu muncul sebagai fasilitator atau bahkan mediator untuk mengusahakan perdamaian diantara negara yang bertikai. PBB yang notabene didominasi oleh Amerika pun juga selalu berusaha membuat kesepakatan-kesepakatan perdamaian pada kasus Israel-Timur Tengah.
            Dengan adanya intervensi ini, sebenarnya banyak hal yang menjadi opini publik atas Amerika. Benarkah Amerika mengusahakan perdamaian sesuai dengan prinsip liberal internasionalisme-nya, ataukah hanya sebuah sandiwara untuk menanamkan kepentingan-kepentingan Amerika di Timur Tengah. Bila melihat dari “kacamata” negara yang memiliki prinsip isolasionisme, Amerika tampaknya berusaha mengintervensi, mengusahakan perdamaian, dan sebagainya, supaya eksistensi dan privatisasi negaranya tidak di-intervensi oleh negara lain. Amerika memiliki sebuah pemikiran “sebelum kamu menyerang, kami akan menyerang”, yang sangat menunjukkan ketidakinginan Amerika untuk diintervensi atau diserang oleh pihak lain. Amerika melihat bahwa kedudukannya sebagai negara superpower harus dipertahankan, terlebih pada aspek national security yang menjadi prioritas negara Amerika. Dengan adanya prinsip isolasionisme dalam kebijakan luar negeri Amerika, menunjukkan pula bahwa tanpa aliansi-pun Amerika (seakan-akan) mampu mengatasi segala permasalahan dunia, sekaligus menyebarkan ideologi-ideologinya. Isolasionisme yang merupakan sebuah bentuk proteksi atas diri sendiri, membuat Amerika dapat bertahan karena privatisasi dan kedaulatan negaranya terjaga dengan baik

REFERENSI :
http://eprints.lib.ui.ac.id/8400/ (diakses pada 16 Juni 2011)


“Politik Hijau” Menanggapi Perubahan Iklim Global


            Dunia sedang mengalami masalah yang sangat krusial, terlepas dari isu-isu yang selalu dibahas dalam ilmu Hubungan Internasional, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, dan sebagainya. Masalah ini mengikis eksistensi bumi dalam aspek fisiknya secara perlahan.  Masalah ini pula lah yang seringkali terlupakan dan sengaja diacuhkan padahal dampaknya telah menjadi global issue. Masalah ini juga belum dapat ditemui titik terangnya karena solusi-solusi yang ada masih menjadi perdebatan lintas batas negara.
            Sebelum memahami lebih jauh mengenai teori kritik “Politik Hijau” yang mencul pada abad ke-20 ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai perbedaan environmentalis dengan kaum Politik Hijau sendiri. Menurut Burchill dan Linklater(2009:337), kaum environmentalis menerima suatu kerangka atas struktur politik, sosial, ekonomi, dan normatif dari politik internasional yang ada, dan berupaya untuk memperbaiki permasalahan lingkungan dalam struktur tersebut, sementara
Politik Hijau memandang bahwa sruktur tersebut merupakan sumber utama dari krisis lingkungan yang perlu diuji dan lebih diutamakan. Jadi, Politik Hijau tidak menggunakan struktur yang ada untuk merekonsiliasi permasalahan lingkungan, namun sebaliknya, Politik Hijau menganggap adanya distorsi lingkungan disebabkan oleh struktur-struktur yang diaplikasikan dengan tidak bertanggungjawab.
            Politk Hijau memiliki asumsi dasar yaitu penolakan terhadap antroposentrisme. Antroposentrisme sendiri memiliki arti “ajaran yg menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia” (http://www.artikata.com/arti-319322-antroposentrisme.html). Pemikiran Politik Hijau yang berbasis ekosentrisme ini berusaha mengaitkan keberadaan individu dengan ekologi dan berusaha memberi pemetaan yang tegas antara kepentingan manusia dan bukan-manusia. Kehadiran Politik Hijau sebagai teori kritik dalam Hubungan Internasional ini memiliki pandangan yang tegas terhadap tiga mahzab terkemuka dalam HI. Pertama, Politik Hijau mengkritisi kaum realis yang memiliki asumsi dasar state-centric. Menurut kaum Politik Hijau, orang-orang realis baru akan menyadari atau menanggapi sebuah permasalahan bila masalah itu sudah “menyinggung” sampai tingkat negara. Padahal, permasalahan lingkungan adalah permasalahan krusial yang harus segera ditanggapi meskipun efek-nya belum terbawa sampai ke tingkat negara. Kedua, Politik Hijau mengkritisi kaum neo-liberalis yang aktor utamanya terpusat pada individu dan pasar. Politik Hijau menilai bahwa perhatian neo-liberalis terhadap ekonomi tidak terlalu baik dalam merespon permasalahan lingkungan. Ketiga, kaum Politik Hijau mengkritik kaum Marxis yang juga mengedepankan aspek ekonomi. Politik Hijau menganggap keberadaan kaum-kaum Marxis akan membahayakan bagi kelestarian lingkungan karena Sumber Daya Alam (SDA) adalah sumber utama dalam perekonomian. SDA adalah sumber utama bagi kebutuhan pokok manusia, dan SDA yang terus menerus dieksploitasi (dengan tujuan meningkatkan perekonomian) akan semakin memperparah krisis lingkungan.
            Ketika melihat kenyataan dunia saat ini, bumi sedang digerogoti perlahan demi perlahan oleh tingkah laku manusia sendiri. Salah satu dampak yang benar-benar terasa efeknya hingga saat ini adalah pemanasan global. Penyebab utama meningkatnya pemanasan global adalah meningkatnya aktivitas pertambangan dan manusia “memproduksi” gas karbondioksida secara berlebihan ke atmosfir dengan memakai bahan bakar dari fosil yang membutuhkan waktu lama untuk diperbaharui seperti minyak bumi, batu bara, dan sebagainya. Sebagian dari akibat pemanasan global yaitu : mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran, coral bleaching dan gelombang badai besar (http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-iklim-global/).
            Lantas, bagaimanakah seharusnya Politik Hijau dengan teorinya menanggapi permasalahan lingkungan global tersebut? Politik Hijau memiliki slogan yang sangat terkenal, yaitu “think globally, act locally”. Apa yang dimaksudkan Politik Hijau dengan slogan ini sebenarnya adalah perlunya peningkatan kesadaran individu dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan yang sedang terjadi di dunia. Masing-masing individu bukan saatnya lagi bersikap apatis, sementara gunung es di Antartika semakin banyak yang mencair. Act locally sendiri berusaha mempersuasi individu agar mulai memperbaiki dirinya sendiri dalam “memperlakukan” lingkungan. Akan menjadi sia-sia bila banyak kesepakatan-kesepakatan internasional yang dibentuk, namun tidak ada hasrat dari masyarakat untuk memelihara lingkungan. Kemudian, Politik Hijau juga melakukan pendekatan desentralisasi, yaitu sistem pemerintahan yg lebih banyak memberikan kekuasaan kpd pemerintah daerah (http://www.artikata.com/arti-325016-desentralisasi.html). Jadi, Politik Hijau tidak terlalu memfokuskan pada negara yang menurut realis adalah kewenangan tertinggi dalam pemerintahan. Contohnya adalah UNFCCC yang merupakan badan dibawah PBB untuk menyikapi permasalahan lingkungan yang telah mengglobal.  The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) -- to begin to consider what an be done to reduce global warming and to cope with whatever temperature increases are inevitable (http://unfccc.int/essential_background/items/2877.php). UNFCCC ini juga melahirkan rezim-rezim internasional ataupun institusi internasional seperti Protokol Kyoto, dimana negara-negara sepakat untuk mengurangi gas emisi yang sangat berbahaya.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa Politik Hijau berasumsi adanya strukturlah yang menyebabkan krisis lingkungan dan cara  menanggulanginya harus melalui pendekatan khusus, diantaranya adalah globalisasi dan desentralisasi. Saya sangat  setuju dengan Politik Hijau ini dimana teori kritik ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam ranah Hubungan Internasional dalam menanggapi perubahan iklim global. Kritik-kritik yang diberikan kepada liberalis, realis, dan marxis juga memiliki sisi kebenaran karena terkadang fokus struktur tersebut pada negara mampu melupakan hal-hal terkecil di sekitar kita,  diantaranya adalah lingkungan yang tidak bisa dianggap sepele.

Referensi:
Burchill, Scott dan Linklater, Andrew. (2009). Teori-teori Hubungan Internasional.
                Bandung : Nusamedia
  
http://unfccc.int/.php (diakses pada 15 Juni 2011)
http://www.artikata.com/  (diakses pada 15 Juni 2011)

Hubungan Gender dan Feminisme

            “Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria. Bukan dari kepalanya untuk diagungkan, ataupun dari kakinya untuk direndahkan. Tetapi dari sisinya, untuk dikasihi dan disayangi.” Kalimat yang mengandung unsur filosofi ini merupakan kalimat yang terkenal sejak lama, entah siapa pengarangnya. Dalam kalimat ini terbesit pandangan bahwa sejatinya, sejak dahulu, wanita adalah makhluk yang tampak lemah dan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Penstudi HI dan pakar psikologi bernama Danielle Crittenden (1999) dalam bukunya “Wanita Salah Langkah?” menggambarkan perbedaan awal dari pria dan wanita ditinjau dari aspek biologis. Pria memiliki sperma beserta hormon testosteron yang membuat karakter pria adalah aktif, suka bersaing, cenderung memimpin, kuat, berani, dan sebagainya. Sedangkan wanita yang menghasilkan sel ovum beserta hormon estrogen membuat karakternya cenderung pasif, suka dilindungi, suka kedamaian, kenyamanan, menggunakan perasaan, dan sebagainya. Adanya perbedaan pria dan wanita dari aspek biologis ini ternyata merambat pada aspek lain dan menimbulkan kontroversi. Oleh sebab itulah perlu dikaji ulang makna gender dan sex terlebih dahulu sebelum mengetahui hal-hal yang terdapat dalam teori feminisme beserta tujuannya. Secara harafiah, sex lebih diartikan pada perbedaan jenis kelamin (biologis), sedangkan gender mengarah pada perbedaan konstruksi sosial keduanya.
            Penstudi HI yang mengkaji tentang feminisme, Rebecca Grant, menyatakan bahwa teori feminis berkembang berdampingan  dengan teori HI pada abad 20 sejak berakhirnya Perang Dunia I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat (Burchill dan Linklater, 2009:283). Asumsi dasar feminisme ini berangkat sebelum masa enlightment-renaissance, dimana terdapat budaya patriarkhi yang sangat kental. Kaum feminis berusaha menuntut keadilan dan menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM), karena pada masa itu kaum perempuan dan anak-anak adalah kaum yang termarginalkan. Obyek kajian feminisme pada awalanya memang mencakup wanita, namun selama perkembangannya, objek feminisme meluas dan tidak melulu menyoroti wanita.
Bukan hanya ketidakadilan dalam bidang sosial, namun kaum feminis juga berusaha merespon ketidakadilan pria dan wanita dalam bidang politik internasional. Hal yang diinginkan kaum feminisme bukanlah keinginan untuk menjadi sama atau dianggap memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Awal mula keinginan feminis adalah security for human, dimana wanita menginginkan adanya perlindungan HAM. Seperti contoh kisah-kisah sejarah yang menceritakan tentang perang antar negara memperlihatkan wanita-wanita yang (hampir) selalu menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh tentara-tentara perang.  Hal tersebut juga menjadi pemicu munculnya kaum feminis untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan.
            Bila melihat dari tujuan-tujuan dari kaum feminisme sendiri, tidak bisa digeneralisasikan karena aliran feminisme sangat beragam, diantaranya : feminisme radikal, eko-feminisme, feminisme kultural yang memperjuangkan status ‘perempuan’ yang khas, feminisme lesbian, feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme perempuan Dunia Ketiga, dan lainnya.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh Hubungan Internasional tidak terbatas pada politisi-politisi, negara, ataupun pejuang-pejuang yang notabene adalah pria. Sesungguhnya representasi HI sebagai ‘politik tingkat tinggi’ secara implisit bias gender ketika ‘signifikansi krusial dan kekuatan publik, alasan untuk, dan kenyataan akan otoritas tertinggi’ terbangun tanpa mengikutsertakan perempuan (Burchill dan Linklater, 2009:282).
            Dengan adanya keberagaman aktor dalam Hubungan Internasional, selayaknya membuat ilmu Hubungan Internasional semakin maju dan berkembang. Objek kajian yang semakin luas memang memiliki konsekuensi tertentu dalam melakukan  penelitiannya, namun dapat membuka mata penstudi-penstudi HI bahwasannya ilmu sosial akan selalu berkembang dan apa saja yang ada di sekitar mampu dipelajari. Teori kritis feminisme ini sangat berguna dalam perkembangan HI dan memberikan kontribusi dalam HI mengenai adanya teori baru yang dapat diaplikasikan pula dalam kehidupan nyata dan teori feminisme ini juga sangat berguna karena teori ini sangat dekat cakupannya dengan kehidupan manusia.

REFERENSI :           
Burchill, Scott dan Linklater, Andrew. (2009). Teori-teori Hubungan Internasional.
               
Bandung : Nusamedia
Crittenden, Danielle. (1999). Wanita Salah Langkah? Menggugat Mitos-Mitos
                Kebebasan Wanita.
Bandung : Qanita

Wednesday 15 June 2011

Napak Tilas Sang Garuda

Lorong waktu menawarkan kisah..
Seketika membawa sukmaku,
menapaki metamorfosa masa lalu dan masa kini …
Dimensi ruang dan waktu, membumbungkan tinggi Sang Garudaku
Pelatuk kolonialisme dicakar
Rajawali komunisme dihadang
Belibis perpecahan dilahap
Bahkan merpati-merpati pengadu domba diterkamnya geram
Sang Garudaku, mengapa kau merunduk tersungkur?
Mengapa luka-luka yang timbul dalam usaha pertahanan itu meremukkanmu?
Mengapa asap tanda perjuangan yang menyelubungi, mengaburkan pandanganmu?
Bangunlah Garuda !! Kau menang !! Lihat, kau mengalahkan mereka semua !!
            Belum sempat katup bibirnya bergerak menanggapi
            Lorong waktu mendamparkan sukma pada masa kini
            Sang Garuda kehilangan lengan kaki dan timpang jalannya,
Sayapnya ringkih tersayat-sayat luka
            Berjalan dalam padang mafia pajak ia tertatih
            Menyusuri debu pasir injakan penggelap milyaran uang tabungan rakyat
            Pula hentakan kaki terorisme jahanam,
bekas jejaknya abstrak dalam fatamorgana
Sang Garuda semakin tertatih.. seakan tak kuasa melanjutkan perjalanannya
di tengah padang belukar duri-duri kemunafikan penguasa
Semakin gegap gempita sorotan matanya,
tatkala memandang sumber air pencucian otak,
merambat lumut-lumut perseteruan agama, sayup-sayup kudengar,
“Ajaranku yang paling benar! Keyakinanmu menyesatkan!”
menggusarkan angin membuatnya kelabu
Hingga pada persimpangan jalan Sang Garuda rebah dan menangis
Air matanya meruah membanjiri gersang padang bumi pertiwi
Memohon doa, memanjatkan belas kasihan dari Sang Pencipta
Berharap rasional dan moral rakyat bukanlah bayang
Menjeritkan keadilan yang kini cacat akibat uang, uang, dan uang
Meratapkan pola pikir yang hanya berdemo namun tak berkontribusi
Menjalankan kewenangan bukan dengan kasih namun penyimpangan ambisi
Bak dewa, Sang Garuda menjelma dalam rupa Pancasila
Biar nyawanya hidup dalam sanubari penghuni padang pertiwi
Merasuk perjuangannya kala itu dalam ambang kematian
Supaya tangan memiliki genggaman erat
Supaya kepala penuh hikmat dan moral
Supaya kaki tak terantuk karang pengimbas perpecahan
Supaya bumi pertiwi berpondasi dasar teguh
Menggandeng sahabat bernama hukum, cetusan bersama
Menjadi alat penyadar ampuh walau fajar menyurut