Kebijakan luar negeri “isolasionisme” adalah salah satu dari kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan juga diadopsi oleh beberapa negara yang tidak ingin menjadi bagian dari salah satu aliansi, membuka hubungan lintas batas negara, dan terlebih berkomitmen ekonomi dengan negara lain. Kata “isolasionisme” sendiri dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk memisahkan diri dari pihak lain (http://artikata.com/arti-331122-isolasionisme.html). Isolasionalisme memiliki dua prinsip, yaitu proteksionisme dan non-intervensi. Proteksionisme secara harafiah dapat dijelaskan sebagai bentuk upaya untuk melindungi diri sendiri baik dari segala bentuk pengaruh maupun ancaman pihak lain. Sedangkan non-intervensi, secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak mencampuri urusan pihak lain. Politik luar negeri isolasionisme bertujuan untuk mengutamakan pendistribusian segala sumber daya ke tiap-tiap daerah di negara tersebut dan untuk menjaga kedamaian dan hubungan baik dengan negara lain
Secara historisis, kemunculan isolasionisme di Amerika diawali pada abad ke-17, yakni ketika berbondong-bondong peziarah dari Eropa (terutama dari Inggris), menemukan benua baru yang dianggapnya “new homeland to make everythings better”. Benua Amerika yang mereka temukan ini dianggap dapat menjadi tempat “pelarian” dari kerusuhan maupun konflik-konflik di negaranya, seperti : krisis ekonomi, perang, pembantaian karena agama, dan sebagainya. Dari sinilah ada sebuah tindakan “privatisasi” atau pengurungan diri dari pihak (negara) lain, seperti sikap Amerika pada Perang Dunia I yang sama sekali tidak bergabung pada aliansi.
Kasus Israel-Palestina merupakan permasalahan yang komplek dan beruntut sejak akhir abad ke-19. Permasalahan berawal pada tanggal 2 November 1917, ketika Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina.
Negara-negara Arab dan tentunya Palestina, mengadakan perlawanan atas keputusan Deklarasi Balfour tersebut. Permasalahan tersebut ditambah dengan penguasaan Israel yang mendapat bagian lebih dari lima puluh persen wilayah di Palestina, yang dianggap melanggar kesepakatan dalam Pembagian Wilayah PBB tahun 1947. Konflik terus berlanjut, Israel menyatakan sepihak akan pembentukan Negara Israel tahun 1948 yang memunculkan perlawanan dari negara-negara di sekitar wilayahnya,
munculnya blokade-blokade dari pihak Israel atas Palestina dengan tujuan penguasaan wilayah, revolusi rakyat Palestina, masalah Tepi Barat, jalur Gaza, dan konflik-konflik lainnya yang berujung tanpa akhir, hingga kasus terbaru yang mencuat adalah Mavi Marmara. 13 September 1993, telah disepakati Perjanjian Oslo, dimana Amerika sebagai mediator menjadi penggagas perdamaian diantara Palestina-Israel, dan kedua belah pihak mengakui eksistensi dan kedaulatan masing-masing. Dalam pertikaian-pertikaian di Timur Tengah, terlebih kasus Israel-Palestina, Amerika tampak selalu muncul sebagai fasilitator atau bahkan mediator untuk mengusahakan perdamaian diantara negara yang bertikai. PBB yang notabene didominasi oleh Amerika pun juga selalu berusaha membuat kesepakatan-kesepakatan perdamaian pada kasus Israel-Timur Tengah.
Dengan adanya intervensi ini, sebenarnya banyak hal yang menjadi opini publik atas Amerika. Benarkah Amerika mengusahakan perdamaian sesuai dengan prinsip liberal internasionalisme-nya, ataukah hanya sebuah sandiwara untuk menanamkan kepentingan-kepentingan Amerika di Timur Tengah. Bila melihat dari “kacamata” negara yang memiliki prinsip isolasionisme, Amerika tampaknya berusaha mengintervensi, mengusahakan perdamaian, dan sebagainya, supaya eksistensi dan privatisasi negaranya tidak di-intervensi oleh negara lain. Amerika memiliki sebuah pemikiran “sebelum kamu menyerang, kami akan menyerang”, yang sangat menunjukkan ketidakinginan Amerika untuk diintervensi atau diserang oleh pihak lain. Amerika melihat bahwa kedudukannya sebagai negara superpower harus dipertahankan, terlebih pada aspek national security yang menjadi prioritas negara Amerika. Dengan adanya prinsip isolasionisme dalam kebijakan luar negeri Amerika, menunjukkan pula bahwa tanpa aliansi-pun Amerika (seakan-akan) mampu mengatasi segala permasalahan dunia, sekaligus menyebarkan ideologi-ideologinya. Isolasionisme yang merupakan sebuah bentuk proteksi atas diri sendiri, membuat Amerika dapat bertahan karena privatisasi dan kedaulatan negaranya terjaga dengan baik
Negara-negara Arab dan tentunya Palestina, mengadakan perlawanan atas keputusan Deklarasi Balfour tersebut. Permasalahan tersebut ditambah dengan penguasaan Israel yang mendapat bagian lebih dari lima puluh persen wilayah di Palestina, yang dianggap melanggar kesepakatan dalam Pembagian Wilayah PBB tahun 1947. Konflik terus berlanjut, Israel menyatakan sepihak akan pembentukan Negara Israel tahun 1948 yang memunculkan perlawanan dari negara-negara di sekitar wilayahnya,
munculnya blokade-blokade dari pihak Israel atas Palestina dengan tujuan penguasaan wilayah, revolusi rakyat Palestina, masalah Tepi Barat, jalur Gaza, dan konflik-konflik lainnya yang berujung tanpa akhir, hingga kasus terbaru yang mencuat adalah Mavi Marmara. 13 September 1993, telah disepakati Perjanjian Oslo, dimana Amerika sebagai mediator menjadi penggagas perdamaian diantara Palestina-Israel, dan kedua belah pihak mengakui eksistensi dan kedaulatan masing-masing. Dalam pertikaian-pertikaian di Timur Tengah, terlebih kasus Israel-Palestina, Amerika tampak selalu muncul sebagai fasilitator atau bahkan mediator untuk mengusahakan perdamaian diantara negara yang bertikai. PBB yang notabene didominasi oleh Amerika pun juga selalu berusaha membuat kesepakatan-kesepakatan perdamaian pada kasus Israel-Timur Tengah.
Dengan adanya intervensi ini, sebenarnya banyak hal yang menjadi opini publik atas Amerika. Benarkah Amerika mengusahakan perdamaian sesuai dengan prinsip liberal internasionalisme-nya, ataukah hanya sebuah sandiwara untuk menanamkan kepentingan-kepentingan Amerika di Timur Tengah. Bila melihat dari “kacamata” negara yang memiliki prinsip isolasionisme, Amerika tampaknya berusaha mengintervensi, mengusahakan perdamaian, dan sebagainya, supaya eksistensi dan privatisasi negaranya tidak di-intervensi oleh negara lain. Amerika memiliki sebuah pemikiran “sebelum kamu menyerang, kami akan menyerang”, yang sangat menunjukkan ketidakinginan Amerika untuk diintervensi atau diserang oleh pihak lain. Amerika melihat bahwa kedudukannya sebagai negara superpower harus dipertahankan, terlebih pada aspek national security yang menjadi prioritas negara Amerika. Dengan adanya prinsip isolasionisme dalam kebijakan luar negeri Amerika, menunjukkan pula bahwa tanpa aliansi-pun Amerika (seakan-akan) mampu mengatasi segala permasalahan dunia, sekaligus menyebarkan ideologi-ideologinya. Isolasionisme yang merupakan sebuah bentuk proteksi atas diri sendiri, membuat Amerika dapat bertahan karena privatisasi dan kedaulatan negaranya terjaga dengan baik
REFERENSI :
http://nasional.kompas.com/read/2009/01/15/18300886/perang.israel-palestina.bukan.konflik.agama (diakses pada 16 Juni 2011)
http://artikata.com/arti-331122-isolasionisme.html (diakses pada 16 Juni 2011)
http://www.u-s-history.com/pages/h1601.html (diakses pada 16 Juni 2011)
http://eprints.lib.ui.ac.id/8400/ (diakses pada 16 Juni 2011)